Kamis, 30 Juli 2009

Kereta Tak Berkuda

Hari Sabtu ini mama harus pergi ke Yogya untuk bertemu dengan penerbit buku. Berangkatnya hari Jum’at sore. Karena hari Senin-nya itu hari libur nasional, mama mengijinkan Shasa ikut. Tentu saja bersama papa juga.

Papa kebagian tugas menjaga Shasa selama mama sibuk dengan urusannya, Seperti yang sudah disepakati bersama, Shasa akan menghabiskan hari Sabtu itu dengan berenang. Shasa itu paling senang dengan yang namanya main air. Kalau sudah berenang bisa lupa waktu.

Untungnya urusan mama hanya memerlukan waktu satu hari. Hari Minggu pagi setelah sarapan mama mengajak Shasa jalan-jalan.

“Shasa pengen berenang lagi, Ma.. Kolam renangnya asyik loh.. ada seluncurannya,” kata Shasa.

“Aduh, Sha.. Kemarin hampir setengah harian berenang masih belum puas juga? Masa’ jauh-jauh ke Yogya hanya untuk berenang saja?” tanya Mama.

“Iya, Sha, papa yang nungguin di pinggir kolam renang saja sudah bosan melihat air kolam,” kata Papa.

“Papa sih gak ikutan berenang jadinya bosan deh. Kalau papa ikut berenang dijamin gak bosan, apalagi kalau main seluncuran,” Shasa nyerocos. “Memangnya kita mau kemana sih, Ma?”

“Ya, jalan-jalan lah.. menyusuri jalan-jalan di kota Yogya naik kereta tak berkuda,” jawab Mama.

“Kereta tak berkuda? Apaan tuh?” tanya Shasa heran.

Becak“Makanya ikut mama saja supaya gak penasaran,” kata mama sambil tersenyum misterius. Tak lama kemudian mereka berjalan beriringan keluar hotel. Dengan langkah pasti mama menuju tempat becak-becak yang mangkal di luar pagar hotel dan bicara dengan salah seorang di antara mereka.

“Yuk, kita naik,” ajak mama.

Dengan sigap pengemudi becak itu mengangkat bagian belakang becak supaya mama dan Shasa bisa masuk ke dalam becak dengan mudah. Papa ikut naik becak tapi di becak yang berbeda.

Perlahan becak pun mulai berjalan. Serrr.. Serr.. terdengar suara kayuhan tukang becak. Angin sepoi-sepoi terasa membelai wajah. Hmmm.. baru kali ini Shasa naik becak. Di tempat tinggal Shasa di Tangerang tidak ada becak. Shasa menoleh ke belakang. Papa melambaikan tangannya dan buru-buru menyiapkan kamera untuk memotret Shasa dan mama.

“Ma, katanya tadi mau keliling kota naik kereta tak berkuda,” kata Shasa.

“Yang kita naiki sekarang kan kereta tak berkuda,” jawab mama sambil tersenyum.

“Loh.. bukannya ini namanya becak?” tanya Shasa.

“Iya, becak itu kan kereta tak berkuda,” lagi-lagi mama menjawab sambil tersenyum.

“..kan ada lagunya..” sambung mama.

“Lagu apa?” Shasa bertanya penuh rasa ingin tahu.
Mama pun lalu menyanyikan sebuah lagu.
Saya mau tamasya berkeliling-keliling kota

Hendak melihat-lihat keramaian yang ada

Saya panggilkan becak kereta tak berkuda

Becak.. becak.. coba bawa saya

“Loh.. kok Shasa baru tau ya ada lagu anak-anak seperti itu..” kata Shasa.

“Itu lagu ciptaan Ibu Sud,” jawab mama. “Mama diajari lagu itu waktu mama sekolah taman kanak-kanak.”

“Hah..?! sudah lama sekali dong..,” Shasa menatap mamanya dengan mata yang membesar. “Mama nyanyi lagi dong..” kata Shasa.

Diiringi Shasa yang menggoyang-goyangkan badannya ke kiri dan ke kanan, mama meneruskan nyanyiannya.
Saya duduk sendiri dengan mengangkat kaki

Melihat dengan aksi ke kanan dan ke kiri

Lihat becakku lari bagai takkan berhenti

Becak.. becak.. jalan hati-hati

Serr.. Serr.. Becak pun terus melaju. Sesekali terdengar suara bel-nya dibunyikan. Ting-nong.. Ting-nong.. Ooo.. sekarang Shasa tahu mengapa becak dikatakan sebagai kereta tak berkuda. Becak diumpamakan seperti kereta hanya saja bukan ditarik oleh kuda melainkan dikayuh oleh pengemudinya.

Mereka berkeliling ke tempat penjualan batik. Kemudian ke tempat penjualan kaos dan juga tempat penjualan oleh-oleh dan makanan khas Yogya. Wahh.. ternyata jalan-jalan di Yogya naik becak tidak kalah menyenangkan dengan berenang di hotel. Saking senangnya, Shasa bahkan minta ‘tambahan waktu’ jalan-jalan naik becak.

Ketika akhirnya becak tiba kembali di hotel, sempat-sempatnya Shasa minta difoto sambil berpose di samping becak.

“Pinten, Pak?” tanya mama kepada tukang becak.

“Terserah Panjenengan,” jawab tukang becak.

“Lohh... kok terserah kula? kula mboten ngertos ongkose, Pak!” kata mama.

“Pinten mawon... terserah...,” tukang becak itu menjawab sambil tersenyum.

Shasa terbengong-bengong mendengar percakapan itu. Walaupun tidak mengerti bahasa Jawa tapi Shasa bisa mengira-ngira isi percakapan itu menanyakan berapa ongkos yang harus dibayar. Akhirnya mama mengeluarkan sejumlah uang. Sambil membungkukkan tubuhnya pengemudi becak menerima uang yang disodorkan mama dan mengucapkan terima kasih.

“Gimana, asyik kan keliling kota naik kereta tak berkuda?” tanya mama.

Shasa menganggukkan kepalanya. “Asyik dan ada bonus kejutannya,” kata Shasa sambil tersenyum lebar.

“Kejutan apa?” tanya mama heran.

“Shasa baru tahu kalau mama ternyata bisa bahasa Jawa padahal mama kan bukan orang Jawa. Belajar dari siapa sih, Ma?”

“Aaa.. da aja,” jawab mama sambil tersenyum. “Rahasia dong…”

Lemper Jepang

Biasanya kalau hari Minggu, Shasa suka bermalas-malasan. Bangun tidurnya sih tetap subuh tetapi setelah itu kembali tidur-tiduran sambil menonton film kartun kesukaannya. Mandi pagi? Wahh.. Mama sampai harus berulangkali menyuruh mandi baru deh Shasa mau mandi.

Hari Minggu ini ada yang berbeda. Pagi-pagi Shasa sudah mandi dan sarapan. Ada apa gerangan?

Ternyata hari ini papa akan mengajak mama dan Shasa ke toko buku. Kata papa, Shasa boleh membeli buku cerita kesukaannya dua buah. Setelah itu mereka akan makan siang di restoran.

Seperti yang dijanjikan, jam sepuluh pagi mereka pergi ke mall.

“Waahh.. besar sekali toko bukunya,” gumam Shasa terkagum-kagum. Koleksi buku anak-anaknya pun banyak sekali. Beberapa menit kemudian Shasa sudah asyik memilih-milih buku bacaan. Sesekali pandangannya beralih ke deretan rak yang memajang novel dewasa. Hanya untuk memastikan mama ada di sana. Sama seperti dirinya, mama juga tampak asyik memilih-milih buku.

“Habis ini kita mau ke mana, Pa?” tanya Shasa ketika selang satu jam kemudian mereka melangkah keluar dari toko buku.

“Papa mau mengajak Shasa makan Sushi,” jawab papa.

sushi“Apaan tuh Sushi?” Shasa kembali bertanya.

“Sushi itu makanan jepang terbuat dari nasi yang digulung dan diberi isi di bagian tengahnya. Ada yang isinya ikan, belut, daging atau yang lainnya.” Mama menjelaskan.

"Ooo..” Shasa mengangguk-anggukkan kepalanya. “Seperti lemper ya, Ma?”

lemper“Iya. Bedanya kalau lemper terbuat dari ketan sementara Sushi terbuat dari nasi. Lemper dibungkus daun pisang sementara beberapa jenis Sushi dibungkus Nori.”

“Nori? Apaan lagi tuh? Kok seperti nama teman Shasa?” Shasa kembali bertanya.

Mama dan papa tertawa mendengarnya. “Nori itu lembaran tipis berwarna hitam terbuat dari rumput laut,” kata mama. Shasa kembali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Di restoran, Shasa memesan Unagi Sushi yaitu Sushi yang berisi potongan belut. Shasa memang suka makan belut.

“Gimana, Shasa suka gak makan Sushi?” tanya papa setelah mereka selesai bersantap.

Shasa menggelengkan kepalanya.

“Lohh.. kenapa?” tanya papa lagi.

“Habis makannya harus pakai sumpit sih,” jawab Shasa. “Shasa kan gak bisa pakai sumpit.”

Mama dan papa tertawa mendengarnya.

“Kalau Shasa gak bisa pakai sumpit kan bisa pakai sendok dan garpu,” kata papa.

“Iya sih.. tapi Shasa lebih suka lemper Indonesia dibanding lemper Jepang. Pokoknya lemper Indonesia itu mak nyuuusss..” Shasa menjawab sambil mengacungkan dua jempol ke arah papa. “Lagian Shasa kan cinta makanan Indonesia.”

“Iya deehh..” kata mama dan papa serempak sambil tertawa.

Betul juga apa yang dikatakan Shasa. Kalau bukan kita yang mencintai makanan Indonesia, siapa lagi?

Untung Ada Alif

Siang itu cuaca mendung. Mobil jemputan yang sebelumnya penuh, sekarang terasa tak lagi sesak. Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Jalanan ramai. Mobil-mobil yang berisi anak sekolah lalu lalang. Rombongan anak sekolah yang bersepeda tampak melaju di sisi jalan. Mendadak terasa ada yang tidak beres dengan mobil jemputan yang tengah melaju.

“Ada apa, Wo?” tanya Rara ketika mobil akhirnya berhenti di pinggir jalan. Seperti teman-temannya, Rara memanggil supir mobil jemputan dengan sebutan ‘Uwo’.

“Uwo juga belum tahu,” jawab Uwo sambil turun dari mobil. Dengan seksama diperiksanya keempat ban mobil.

Yah...ban nya kempes...“Waahhh.. ban mobilnya kempes! Mungkin terkena paku,” kata Uwo. “Ayo kalian semua turun dulu dari mobil!”

Dengan patuh Rara, Shasa dan Alif turun dari mobil. Hanya tinggal mereka bertiga yang belum diantar pulang oleh Uwo.

“Kita duduk di situ saja, yuk!” ajak Rara sambil menunjuk bangku kayu yang ada di depan warung rokok yang kebetulan sedang tutup.

Aif berjalan mendahului. “Untung ban mobilnya kempes di sini. Coba kalau kempesnya di dekat sungai…”

“Yaa… kita duduknya di pinggir sungai lah sambil main air.” Rara melanjutkan kata-kata Alif.

Shasa tertawa terkikik-kikik mendengarnya. Duduk dipinggir sungai sambil main air? Ada-ada saja Rara ini! Kalau kecebur ke dalam sungai kemudian terseret arus, bagaimana?

Baru saja mereka duduk, mendung yang sejak tadi menghiasi langit berubah menjadi titik-titik air yang turun membasahi bumi. Rara, Shasa dan Alif berpandangan. Waduuuhhh.. kasihan Uwo yang sedang mengganti ban mobil.

Payung...Tanpa diduga, Rara berlari ke arah mobil. Beberapa saat kemudian tampak ia memayungi Uwo dengan payung yang ia ambil dari dalam mobil. Kelihatannya Uwo sempat menolak namun akhirnya bisa juga Rara memaksa Uwo agar bersedia dipayungi. Untunglah gerimis yang turun tidak bertambah deras. Bisa-bisa Uwo dan Rara basah kuyup karena payung yang digunakan Rara tidak terlalu besar.

Selama beberapa saat Alif dan Shasa terdiam. Baru saja Shasa akan mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Alif berlari ke arah Rara. Dari tempatnya duduk, Shasa melihat Alif bicara dengan Rara. Mereka sempat tarik-tarikan payung sebelum akhirnya Rara menyerah. Sambil menutupi kepalanya dengan saputangan ia berlari ke tempat Shasa duduk.

Shasa menyambutnya dengan senyuman. “Aku sampai kaget waktu lihat kamu lari. Kirain kamu mau mau masuk ke dalam mobil. Gak taunya mau mayungin Uwo ya?” komentar Shasa.

“Habis, aku kasihan sama Uwo. Uwo kan sudah tua. Kalau besok Uwo sakit, siapa yang antar jemput kita, hayo?” Rara menjelaskan.

“Iya juga ya..,” gumam Shasa.

“Eh, aku gak nyangka Alif yang kelihatannya sombong ternyata baik hati,” Rara melanjutkan kata-katanya dengan setengah berbisik.

“Makanya jangan suka berprasangka buruk! Kalau bahasa Inggrisnya sih, Don’t judge a book by its cover,” kata Shasa sambil mengingat-ingat pelajaran bahasa Inggris yang dipelajarinya di tempat kursus. “Untung ada Alif! Jadi ada yang menggantikan kamu memayungi Uwo.”

Rara hanya nyengir mendengarnya. Berdua mereka memperhatikan Uwo yang masih sibuk dengan ban mobil dan Alif yang memayunginya. Ternyata perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengganti ban mobil.

“Kasihan Alif,” celetuk Shasa. “Pasti tangannya pegal!”

“Cieeee.. segitu perhatiannya sama Alif,” ledek Rara. “Tuh, Uwo sudah selesai.”

Alif yang melihat Rara dan Shasa bermaksud lari ke mobil buru-buru berteriak, “Tunggu di situ! Nanti aku jemput!”

Rara dan Shasa berpandangan.

“Eh, Sha, tadi kamu dikasih coklat kan oleh Jasmine?” Sudah dimakan belum?” tanya Rara.

“Belum. Memangnya kenapa?” Shasa balik bertanya.

“Mana coklatnya?” Rara menadahkan tangannya.

“Bukannya tadi kamu juga dikasih coklat oleh Jasmine?”

“Iya, tapi sudah kumakan. Lagipula aku minta coklat kamu bukan buat aku,” kata Rara.

“Terus buat siapa?” tanya Shasa heran.

“Buat Alif,” bisik Rara sambil mengedipkan matanya.

Baru saja Shasa membuka mulutnya hendak mengajukan pertanyaan lebih lanjut, Alif sudah datang menghampiri mereka.

“Ayo ke mobil!” ajak Alif sambil memayungi Rara dan Shasa.

“Eh, jadi serasa tuan puteri nih dipayungi segala,” komentar Rara. Shasa tertawa terkikik-kikik mendengarnya. Alif hanya tersenyum.

“Untung ada Alif! Uwo jadi ada yang mayungin, ” kata Uwo ketika mereka semua sudah berada di dalam mobil dan mobil pun sudah melaju.

“Betul itu! Kalau gak ada Alif, gak ada yang mayungin Rara dan Shasa dari warung ke mobil,” Rara menyambung kalimat Uwo.

“Alif gitu lohh..!” Shasa ikut menimpali sambil kembali terkikik-kikik melihat ekspresi Alif yang tersipu-sipu.

Sebelum Alif turun di depan rumahnya, Rara memberikan coklat yang tadi dimintanya dari Shasa.

Coklat untuk Alif...“Eh, Lif, ini buat kamu,” kata Rara.
Alif tampak terkejut. “Lohh.. kok tumben Rara bagi-bagi coklat. Dalam rangka apa nih?” tanya Alif ingin tahu.

Tanpa dikomando, serentak Uwo, Rara dan Shasa menjawab, “… dalam rangka.. Untung ada Alif! Ha.. ha.. ha..”

Pengantar Susu Bertopi Merah

Sebuah sepeda berhenti di depan rumah Shasa. Pengemudinya yang bertopi merah mengambil sesuatu dari kotak yang terikat di boncengan sepeda. Dua kantong susu kedelai diulurkan ke arah Shasa yang kebetulan sedang berdiri di halaman luar rumahnya.

“Loh, kok bukan Bang Momo yang mengantar susu?” tanya Shasa manakala dilihatnya pengantar susu itu bukanlah orang selama ini mengantar susu kedelai ke rumah Shasa.

“Sekarang setiap hari Sabtu dan Minggu khusus untuk sektor perumahan ini saya yang mengantar,” pengantar susu itu menjelaskan dengan nada suara yang terdengar sedikit gugup. Letak topinya membuat wajahnya tidak terlihat jelas.

Shasa tidak bertanya lebih lanjut. Dibawanya dua buah kantong susu kedelai itu ke dalam rumah. Sekilas dilihatnya pengantar susu itu memandangnya namun buru-buru memalingkan wajahnya ketika mereka bertatapan. Shasa yang baru saja akan melangkah ke dalam rumah mendadak berpaling ketika didengarnya pengantar susu itu mengatakan sesuatu. Shasa mengerutkan keningnya. Kok sepertinya dia tadi mendengar pengantar susu itu berpamitan dengan memanggil namanya ya? Atau itu hanya perasaannya saja?

Esok harinya, pengantar susu itu datang tepat ketika Shasa sedang menyapu daun-daun pohon mangga yang berguguran.

“Ana, ini susunya!” sapaannya membuat Shasa menolehkan kepalanya.

“Kok kamu tahu namaku?” tanyanya heran. Hampir semua temannya memanggilnya Shasa. Hanya beberapa orang saja yang memanggilnya Ana.

“Eh, oh, ngg.. anu.. aku.. aku diberitahu Bang Momo,” jawabnya gugup.

Shasa menerima susu yang diulurkannya. Anak itu menundukkan kepalanya dan terburu-buru memutar sepedanya dan mengayuh menjauh. Shasa menatap laju sepeda yang menjauhinya sambil sibuk berfikir-fikir. Rasa-rasanya ia seperti mengenal pengantar susu itu tapi dimana ya? Hmm.. ia harus menunggu sampai tiba hari Sabtu untuk bisa bertemu pengantar susu itu. Bukankah kemarin ia mengatakan bahwa ia hanya mengantar susu setiap hari Sabtu dan Minggu?

Hari Sabtu minggu berikutnya, Shasa sedang bersepeda bersama papa ketika sebuah sepeda melaju mendahuluinya. Sepeda pengantar susu! Cepat-cepat Shasa mengayuh sepedanya. Berusaha agar ia bisa tiba di rumah bersamaan dengan si pengantar susu. Namun rupanya pengantar susu itu tahu niat Shasa. Ia mengayuh sepedanya semakin cepat.

Mama yang berada di luar pagar menatap heran ketika dua buah sepeda berhenti hampir bersamaan. Pengemudinya sama-sama terengah-engah.

“Loh, ada apa ini? Balapan sepeda?” tanya mama heran. Rupanya mama memperhatikan peristiwa yang terjadi sejak dari ujung jalan.

“Ini.. ini.. susunya, Tante,” kata pengantar susu itu masih dengan nafas memburu. Setelah mama mengambil susu yang disodorkannya, buru-buru ia menaiki sepedanya.

“Hei, tunggu dulu, nama kamu siapa?” Shasa bertanya.

Bukannya menjawab, pengantar susu itu mengayuh sepedanya dengan terburu-buru.

“Ada apa sih, Sha?” tanya mama bingung.

“Rasa-rasanya Shasa kenal dia, Ma, tapi dimana ya?” Shasa menjawab setengah bergumam sambil mengernyitkan keningnya.

“Kalau tidak salah, Bang Momo pernah bercerita kalau ia mempunyai seorang adik yang tinggal bersama neneknya di kampung halaman mereka. Mungkin dia itu adiknya Bang Momo yang sekarang tinggal disini,” kata Mama.

Shasa mendengarkan kata-kata mama sambil sibuk menggali ingatannya kenapa rasanya ia mengenal pengantar susu itu.

Esok paginya, Shasa sedang berdiri memperhatikan pohon sirsak yang sedang berbuah ketika terdengar seruan yang bernada peringatan.

Ulat Bulu“Awas, Na, ada ulat bulu di bajumu.”

“Hah?! Ulat?! Hiii..” kontan Shasa berteriak-teriak sambil melompat-lompat.

Mama dan papa yang mendengar teriakannya bergegas menghampiri. Namun mereka keduluan pengantar susu yang dengan sigap menepis ulat bulu itu dari baju Shasa di bagian belakang dengan menggunakan daun kering.

“Sudah.. sudah.. ulatnya sudah tidak ada,” kata mama berusaha menenangkan Shasa.

“Ulatnya sudah kabur, Na,” pengantar susu itu tersenyum melihat tingkah Shasa.

Sekilas lesung pipinya terlihat. Shasa yang masih melompat-lompat kegelian tertegun. Dilihatnya pengantar susu itu memutar arah sepedanya dan mulai mengayuh menjauh.

Keesokan harinya ketika jam istirahat sekolah tiba, Shasa menghampiri Idham yang asyik mendengarkan cerita Fabian sambil tersenyum.

“Hai..” sapanya. Kedua anak itu menoleh dengan terkejut terutama Idham.

“Makasih ya, kemarin kamu sudah menolongku dari ulat bulu.” Kata-kata Shasa membuat anak itu tertegun. Lesung pipinya yang sebelumnya terlihat mendadak hilang.

Shasa cekikikan. “Yang mengantar susu ke rumahku hari Sabtu dan Minggu itu kamu kan?”

“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanyanya pelan. Fabian hanya terdiam kebingungan.

“Ya tahu dong.. Tidak banyak yang memanggilku dengan nama panggilan Ana. Hampir semua teman-temanku mengikuti nama panggilanku di rumah. Lagipula diantara yang sedikit itu hanya kamu yang mempunyai lesung pipi.”

Idham hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia memang belum lama pindah sekolah setelah sebelumnya ia tinggal bersama neneknya.

Susu KedelaiSebenarnya tugas mengantar susu kedelai adalah tugas kakaknya. Ia sendiri yang berinisiatif menggantikan tugas kakaknya setiap hari Sabtu dan Minggu.

Tak dinyana salah satu pelanggan susu kedelai buatan ibunya adalah teman sekelasnya.

Dilihatnya Anastasia Shafarina tersenyum penuh kemenangan. Gara-gara salah panggil nama, ketahuan deh identitas pengantar susu bertopi merah…

Jangan Berlebihan Dalam Menghukum

Pada zaman dahulu ada seorang saleh yang selalu beribadah kepada Tuhannya. Pada suatu hari dia melakukan sebuah perjalanan atas ilham dari Tuhannya, karena perjalannya begitu jauh dan melelahkan maka diapun membawa serta beberapa orang temannya.

Ketika sampai di suatu tempat yang cukup terik orang saleh tersebut berkata kepada teman-temannya “Sekarang kita beristirahat sejenak untuk menghilangkan lelah, sebelum kita melanjutkan perjalanan” katanya, “Tapi di mana kita akan berteduh sedangkan wilayah ini adalah padang pasir yang sangat panas” sela salah satu temannya. “Kalau begitu kita cari tempat yang teduh di sekitar sini” kata yang lainnya.

Setelah berjalan berputar-putar mencari tempat berteduh akhirnya mereka menemukan sebuah pohon besar yang cukup rindang, akhirnya mereka menuju pohon itu dan menurunkan semua perbekalan di bawahnya. Sebagian mereka ada yang menghamparkan karpet untuk sekadar bersandar pada batang pohon dan sebagian lainnya tidur-tiduran. Sementara laki-laki saleh ini bersandar pada batang pohon besar itu, semuanya merasakan rindangnya pohon, ditambah semilir angin yang membuat mereka mengantuk.

Namun tiba-tiba seekor semut menggigit orang saleh yang sedang bersandar, maka Semutdengan serta merta dia bangkit lalu membangunkan teman-temannya yang lain, “Kalian bangun semua, aku telah digigit seekor semut” katanya dengan nada tinggi. Lalu dia memerintahkan kepada teman-temannya untuk mengambil semua perbekalan mereka. “Sekarang ambil api dan kayu bakar, lalu bakar sarang semut yang berada di bawah pohon itu” perintahnya. Maka beberapa dari mereka segera mengambil ranting-ranting kering untuk membakar sarang semut tersebut.

Ketika nyala api sudah tersulut dan telah siap untuk dilemparkan ke sarang semut, tiba-tiba sebuah suara terdengar dari langit “Wahai manusia kenapa engkau akan membakar seluruh semut itu, padahal yang menggigitmu hanya seekor” suara itu terdengar begitu dekat namun tidak ada satupun dari mereka yang melihat wujudnya.

Semuanya terdiam sementara suara itu telah hilang, “Hampir saja kita berbuat kesalahan besar” ucap orang saleh tersebut, “Sekarang bertaubatlah kepada Tuhan” lanjutnya. Maka orang saleh itu segera bersujud, sementara teman-teman yang lainnya mengikutinya. Rupanya suara itu adalah suara Tuhan yang telah menegur hambanya yang berlebihan dalam menghukum sesama makhluknya.

Do’aku

Kejadian itu hampir satu minggu berlalu, dan kakiku masih saja sakit.

“Ugh.. luka dilutut ini tidak kunjung sembuh..”, begitu celetukku. “Ya memang tidak lekas sembuh, apalagi kamu selalu bergerak”, kata ayahku menyahut.

Hari Jumat yang lalu, aku terjatuh dari sepeda kesayanganku saat melewati tikungan dijalan raya. Memang aku akui, aku sedikit melamun saat mengendarainya. Aku tidak menyadari kalau di daerah tikungan itu banyak pasir yang berserakan.

“Ini sudah ketiga kalinya, pasti kakak mengebut ya..”, ujar adikku.

“Tidak..”, tukasku.

“Mungkin roda depannya sudah tipis, jadi harus diganti yang baru..”, lanjutku.

“Tidak mungkin.. itu kan roda baru..”, jawab ibuku.

Benar juga, roda bagian depan memang tidak begitu tipis. Kalau dipikir ulang, mungkin karena aku tidak konsentrasi melihat jalan raya, jadi kurang hati-hati.

“Kalau begitu, pasti karena jalannya berpasir dan basah..”, ucapku.

“Ah, pasti kamu yang kurang hati-hati..”, kata ayahku.

Begitulah, hingga suatu hari aku bertemu dengan Kusma, sahabatku.

“Huuuh.. sebel!!”, teriak Kusma mendekatiku.

“Kenapa Kus?”, tanyaku.

“Ini nih... kakiku sakit gara-gara Malli..”, lanjutnya.

“Kok bisa?”, tanyaku lagi.

“Iya, dia kan berpapasan denganku dipintu kaca. Sudah tahu aku membawa barang banyak, dia bukannya membukakan pintu, malah mendorong pintunya kearahku. Karena itu, aku mundur kebelakang dan tanpa sengaja tumit kakiku terbentur meja. Sakit deh…”,curhatnya padaku.

Aku hanya menatap Kusma dengan pertanyaan didalam benakku, lalu…

“..Eh.. dia dengan santainya bilang, kenapa Kus.. sakit ya, ups! Kasihan.. ambil hikmahnya ya..”, lanjut Kusma dengan nada sebel.

Sesaat aku termenung. Benar, Malli memang keterlaluan. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu. Tapi disisi lain kalimat Malli mengingatkanku pada sesuatu.

Ambil hikmahnya.

Aku lupa. Karena terlalu sering merintih kesakitan, aku lupa mengambil hikmah dari kecelakaan yang aku alami. Tuhan memberi musibah, bukan untuk disesali atau dirapati. Tapi agar makhluk ciptaannya tetap bersyukur terhadap apa yang Tuhan berikan.

“Ya Tuhan, terima kasih masih memberiku kesempatan untuk hidup. Semoga, luka dilututku ini cepat sembuh. Aku berjanji akan lebih berhati-hati lagi, konsentrasi dalam apapun dan tidak akan menyalahkan sesuatu karena kesalahanku sendiri.. amin”, do’aku sebelum tidur.

Tragedi Merica

Hari Minggu ini, Shasa akan membantu mama memasak. Kata mama, Shasa sudah cukup besar dan bisa berhati-hati dalam menggunakan pisau dapur. Menu yang akan dimasak adalah Sup Ceker kegemaran Shasa. Eh, sebenarnya bukan cuma Shasa yang suka Sup Ceker. Papa juga suka loh..
Berdua dengan mama, Shasa berbelanja keperluan membuat Sup Ceker ke tukang sayur yang mangkal diujung jalan. Ceker ayam, Kentang, Wortel, Kol, Buncis dan daun Seledri. Hmmm.. Shasa sudah tidak sabar ingin cepat-cepat memotong-motong sayuran.
PeelerSelesai sarapan, acara memasak pun dimulai. Mama mengajari Shasa cara menggunakan Peeler, pisau khusus untuk mengupas kulit sayuran yang tipis. Biasanya digunakan untuk mengupas Kentang dan Wortel. Sreett.. Sreett.. Dengan hati-hati, Shasa mulai mengupas Wortel. Setelah itu giliran Kentang yang dikupas. Selesai dikupas, wortel diiris dan kentang dipotong kecil berbentuk dadu.
Tok.. tok.. tok.. terdengar suara pisau beradu dengan talenan kayu yang digunakan sebagai alas untuk memotong Wortel dan Kentang. Selesai dipotong, keduanya diletakkan dalam wadah berisi air. Kata mama, kalau tidak direndam air, kentang yang sudah dipotong-potong akan berubah warna menjadi kecoklatan.
Jahe
“Itu apa, Ma?” tanya Shasa. Tugasnya mengiris wortel dan memotong kentang sudah selesai.
“Ini namanya Jahe. Gunanya untuk menghilangkan bau amis Ceker Ayam. Nanti Jahe ini akan dimemarkan dan direbus bersama-sama dengan Ceker Aym,” jelas mama.
“Bumbu Sayur Sop itu apa saja sih, Ma?” tanya Shasa ingin tahu.
“Bumbunya sederhana saja. Hanya Bawang Putih dan Merica yang dihaluskan kemudian ditumis dan dimasukkan kedalam rebusan Ceker Ayam,” Mama menjelaskan.
“Aduh, Sha, Mama lupa membeli merica,” Mama berseru panik saat membuka tempat merica ternyata dalam keadaan kosong.
“Coba tolong lihat, tukang sayur di ujung jalan masih ada tidak?” pinta mama. Shasa bergegas ke luar rumah.
“Tukang sayurnya sudah tidak ada, Ma,” lapornya. “Tidak usah pakai merica deh, Ma.”
“Aduh, Sha, nanti gak enak dong sayur Sop-nya,” keluh Mama.
“Beli di minimarket saja, Ma,” usul Shasa.
“Di minimarket biasanya hanya menjual merica halus. Dibanding dengan merica butiran, aromanya kurang. Tapi apa boleh buat..” Mama tampak berfikir sejenak. “Kalau begitu Shasa pergi ke minimarket bersama Papa membeli merica halus. Mama di rumah merebus ceker ayam. Bagaimana?”
“Oke deh,” Shasa langsung setuju. Dicarinya Papa yang dengan senang hati langsung bersedia mengantar dan menemani Shasa ke minimarket.
Tak lama kemudian Shasa sudah kembali tiba di rumah.
“Merica halus-nya tidak ada, Ma,” lapornya.
Mama mengerutkan kening.
“Benar tidak ada?” tanya mama memastikan.
“Benar,” Shasa mengangguk yakin. “Tuh, tanya saja papa kalau tidak percaya,” katanya lagi.
“Iya, tadi Papa lihat di rak tempat bumbu-bumbu tidak ada merica halus,” Papa mengiyakan.
Mama tampak berfiikir. “Coba Shasa ceritakan, yang ada di rak bumbu-bumbu itu apa saja?” tanya mama.
Shasa mengingat-ingat. “Disitu ada Garlic powder. Garlic itu Bawang Putih kan, Ma?” tanyanya.
Mama menganggukkan kepala. “Selain Garlic Powder ada apa lagi?” tanya mama dengan sabar.
“Ada ketumbar halus, garam halus, lada halus..”
Kata-kata Shasa terhenti manakala dilihatnya mama tersenyum lebar.
“Kenapa sih, Ma?” tanyanya bingung.
Merica / Lada halus“Shasa sayang, lada itu nama lain dari merica,” jawab mama sambil sibuk menahan senyumnya supaya tidak semakin lebar.
Shasa berpandangan dengan papa.
“Sudah sana balik lagi ke minimarket,” kata mama. “Cepat ya, Ceker Ayam-nya sudah empuk nih,” mama melanjutkan kata-katanya.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, Shasa mengekor di belakang papa yang segera beranjak dari dapur.
“Mana Shasa tahu kalau lada dan merica itu sama,” gumam Shasa.
“Papa juga baru tahu,” Papa berkomentar.
Di dapur mama tidak bisa lagi menahan tawanya. Ha..ha..ha

Namanya Toti

Pada suatu siang, di tengah hari yang terik, tampaklah seorang anak kecil berjalan gontai. Bajunya kusut, basah dimana-mana karena peluh yang menetes deras dari sekujur tubuhnya. Napasnya agak terengah – engah. Sesekali kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan, tetapi kepala itu lebih sering menunduk, seolah-olah dia sedang menghitung jumlah kerikil di jalan yang sedang dia lewati. Ketika berjalan tangannya agak terayun sedikit, kedua tangan itu menggantung agak lunglai, tidak membawa apa-apa, seolah-olah tangan yang sudah kosong itupun sudah berat untuk dibawa kemana-mana.


Di pundak kanannya menggantung seutas tali, tali sebuah tas sekolah. Tas sekolahnya diselempangkan dari pundak kanan ke pinggang kiri. Tas itu bergoyang-goyang seiring dengan langkahnya, langkah yang terbebani oleh beban tas sekolah yang berat.


Jalan yang sedang dia lewati saat itu berdebu, kering kerontang, pohon yang ada di pinggir jalan sedang meranggas. Sungai kecil yang ada di samping jalanpun tidak ada airnya. Sudah satu jam yang lalu
dia keluar dari halaman sekolahnya, tetapi langkahnya belum juga sampai ke rumahnya. Rumahnya masih jauh, masih diperlukan setengah jam lagi untuk sampai.


Air minum yang dibawanya sudah habis, dia habiskan saat istirahat kedua tadi. Menyesal rasanya, mengapa dia tadi menghabiskan air minumnya. Soalnya tadi dia haus berat, mau membeli minum tetapi uang sakunya sudah habis untuk membeli kue saat istirahat pertama tadi. Dia tadi sebenarnya sudah sadar untuk menghemat air minum, tetapi saat istirahat kedua tadi, cuaca sedang menuju mendung, langit sedang berjuang untuk menumpuk awan gelap. Tetapi ketika bel sekolah berbunyi tanda pulang, awan yang bertumpuk-tumpuk tadi sedang menghilang perlahan-lahan, terbang tersapu angin. Perkiraannya meleset, cuaca tidak jadi hujan bahkan mendungpun tidak, malah sebaliknya, panas terik.


Jarak dari rumah ke sekolahnya lumayan jauh, sekitar enam kilometer. Jarak sepanjang itu biasanya bisa ditempuh dalam satu jam bila berjalan dengan cepat. Tetapi siang itu terik, dan rasa haus serta lapar menderanya sehingga tidak mungkin bagi dia untuk berjalan cepat. Menyesal rasanya, mengapa rumahnya jauh dari sekolah.


Biasanya dia pulang dan pergi ke sekolah berjalan bersama-sama dengan teman sekampung, tetapi sekarang teman-temannya itu sudah mendahului pulang. Kalaulah tahu akan sendirian dan kehausan begini, maka menyesallah dia mengapa hari Minggu kemarin dia hanya bermain-main lupa belajar. Kalau hari Minngu itu dia mau belajar, maka dia tidak akan sengsara seperti sekarang ini. Kepanasan, kehausan dan jalan sendirian tiada teman.


Mala-petaka itu dimulai tadi saat jam pelajaran terakhir. Pak Toto, guru matematika kelas lima, sedang bersiap-siap untuk mengakhiri pelajaran hari itu. Dan beginilah pak Toto mengawali bencana itu;


”Anak-anak, ulangan yang hari Senin kemarin sudah bapak periksa. Ada yang bagus ada yang kurang bagus nilainya. Bagi anak-anak yang kurang bagus, bapak memberi kesempatan untuk memperbaiki nilai. Tetapi minggu depan kita sudah menghadapi ulangan semesteran, dan nilai ulangan harian sudah harus disetor sebelum ulangan semester berlangsung. Jadi ulangan perbaikan nilai harus segera dilaksanakan dalam minggu ini.”

”Tetapi sayangnya, mulai besok sampai minggu depan bapak tidak ada di sekolah, karena bapak akan mengikuti penataran di ibukota kabupaten. Jadi, ulangan perbaikan nilainya akan bapak laksanakan sekarang, setelah jam sekolah. Saya tahu kalian sudah lelah, tetapi nanti supaya kalian yang ikut ulangan bisa cepat pulang maka akan bapak beri soal yang tidak terlalu banyak.”


”Yang namanya akan bapak sebut berikut ini, adalah anak yang mendapat nilai bagus dan tidak perlu untuk memperbaiki nilai, oleh sebab itu boleh pulang. Jadi bagi yang bapak panggil namanya, boleh langsung berkemas dan pulang.”
”Agung, Arum, Awang, Bagus Pur, Bagus W, ...”


Pak Toto sudah menyebut belasan nama, dan sepertinya pak Toto sudah hampir habis membaca daftar nama itu, tetapi nama Toti belum juga disebut.

”Baiklah anak-anak, kalian yang tinggal di dalam kelas ini ialah yang harus melaksanakan ulangan perbaikan nilai. Sekarang sambil menunggu maka siapkan kertas kosong untuk ulangan, dan masukkan buku-buku kalian ke dalam tas.“


Benarlah, sampai dengan soal ulangan dibagikan, nama Toti tidak termasuk yang dipanggil untuk boleh pulang. Sedangkan Awang, Tari, Jono, ialah teman sekampungnya yang namanya dipanggil pak Toto.
Yang mengikuti ulangan perbaikan ada dua-belas orang. Dari kedua-belas orang itu, tidak ada satupun yang tinggal sekampung dengan Toti.


Tiba-tiba lamunannya buyar karena saat itu kaki Toti tertantuk batu. ”Aduuh! Dasar batu seenaknya sendiri saja tiduran di jalan!” Hati Toti dongkol bukan main. ”Sudah kepanasan, capek, lapar, haus, masih kesandung batu lagi,” gumam Toti.

Biasanya kalau sedang kepanasan saat pulang sekolah seperti saat itu, dia dan teman-temannya akan berteduh sebentar dibawah pohon. Tetapi sekarang tidak ada tempat untuk berteduh barang sejenak, tidak ada pohon yang merimbun daunnya. Semua pohon meranggas, tidak ada cukup tempat untuk berteduh dari panas terik matahari. Saat itu hujan sudah lima bulan tidak datang.


Setelah rasa sakit karena terantuk batunya hilang, Toti melanjutkan lamunannya lagi. ”Ah coba aku punya sepeda, pasti aku sudah sampai rumah sekarang. Ahh.. tidak-tidak, sepeda kurang cepat, masih harus dikayuh, bisa-bisa kelaparan juga aku.” ”Atau punya sepeda motor saja. Wah keren, tinggal putar gas. Ngeng..ngeng motorku kabur lewat jalan berdebu ini, He..he debunya beterbangan. Ngeng..... sampai rumah, langsung makan. Wah asyik. Tapi aku kan masih kecil, mana boleh naik sepeda motor?”


”Atau mobil, siapa yang akan nyetir ya? Hik..hik.. seperti si Nanang itu yang diantar jemput pakai mobil. Tapi dia kan anak pak Lurah. Lha bapakku? Sepeda saja tidak punya.” ”wah coba aku bisa bikin roket. Aku akan bikin pesawat sendiri, untuk pulang pergi ke sekolah. Naik roket, wuzz.. wuzz..ziiingngggg. Roketku melesat cepat. Cuma lima menit sudah sampai sekolah. Wuzz.. wuzz.. ziiinggg, lima menit sampai rumah lagi. Kalau istirahat pulang ke rumah, wuzz..wuzz..ziingg, sampai rumah ambil minum, makan, dan balik ke sekolah lagi. Wah asyiik....”

”Aduoohhh!!”
Tiba-tiba Toti mengaduh dengan keras. Dia memegang-megang jempol kakinya. Kakinya kesakitan. Dia mengerang-erang sambil terduduk di tepi jalan. Kakinya terantuk batu
Semoga cerita diatas bermanfaat.
Cerita diatas saya tulis dengan maksud dan bertujuan untuk membangkitkan imajinasi bagi pembacanya. Anak-anak sekarang perlu dilatih imajinasinya, supaya dapat berpikir cerdas, karena anak jaman sekarang setiap hari disuguhi informasi media audio visual yang menyebabkan tidak ada ruang bagi otak si anak untuk berimajinasi.

Untuk Pak Guru

Bondan sedang mengumpulkan mangga-mangga perolehannya di kebun ketika Parto mencarinya.


" Hai, Bondan !", seru Parto seraya menghampirinya.


" Hai... Sudah siapkah kamu, To? "


" Tentu sudah. Saya bawa jambu".


" Bagus. Sekarang bantu aku dulu mencuci mangga-mangga ini di sumur. Dan yang pecah itu bisa kamu makan."


Kedua sahabat itupun lalu membawanya ke sumur dan mencucinya. Ada sebelas biji mangga besar-besar dan tiga yang pecah.


" Nymm.... tentu Pak Joko nanti akan senang hatinya dengan buah-buah bawaan kita ini ya, Bon,"

celoteh Parto sambil menyantap mangga yang telah dibubuhi garam itu.


" Mudah-mudahan beliau lekas sembuh, dan bisa mengajar kita lagi."


" Dan mudah-mudahan juga, kelak bila kita ulangan diberi nilai delapan."


" Hush, ngawur saja kamu! Itu tandanya kamu tidak ikhlas dengan apa yang kamu sampaikan padanya. Seperti pepatah: ada udang di balik batu."


" He-he-he.... kalau udangnya di balik rempeyek memang aku suka, Bon."


Pak Joko adalah guru olah raga Bondan dan Parto. Pagi tadi beliau tidak bisa hadir di sekolah, diberitakan mengalami musibah kecelakaan lalu lintas. Tapi tidak parah. Hanya sikunya sedikit lecet, dan butuh istirahat untuk ketenangan.


Bondan dan Parto yang tidak seberapa jauh rumahnya dengan tempat tinggal Pak Joko, hari itu telah bersepakat menjenguknya.


Maka setelah semuanya beres di kemas, kedua sahabat itupun berangkat dengan berboncengan menaiki sepeda Parto.


" Aku berani bertaruh, Bon... kitalah nanti yang menjadi murid kesayangan Pak Joko. Soalnya kitalah yang mau menjenguknya."


" Huh, kamu To.... To. Disayangi atau tidak itu tergantung sikapmu. Kalau kamu rajin belajar dan tidak mbolosan, tentu tak hanya Pak Joko yang sayang padamu. Tapi semua guru dan bahkan semua murid akan baik padamu."


Setiba di tempat kediaman Pak Joko ternyata sudah ada teman-temannya yang lain yang juga menjenguk Pak Joko. Antara lain Norman, Slamet, Ucok dan Haris.


" Wah, Bon, kita kedahuluan !" bisik Parto.


" Mangkanya.... jangan sok !"


Bondan dan Parto diterima dengan baik oleh Pak Joko.Juga beliau mengucapkan terimakasih atas oleh-olehnya. Namun sebentar kemudian, datang lagi rombongan murid yang lain yang juga mau menjenguk Pak Joko. Di antar oleh seorang Ibu Guru, teman Pak Joko, sebagai wakil dari sekolah.


Terpaksa Pak Joko menggelar sejumlah tikar untuk menerima kehadiran tamu-tamu kecil, muridnya itu.


Karena, tempat duduk tidak mencukupi. Mereka semua akhirnya duduk melingkar di tikar. Semua bawaan murid-murid, sengaja ditaruh di tengah-tengah oleh Pak Joko. Persis orang mau bancaan.


" Sebelumnya saya panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa," demikian Pak Joko memulai sambutannya.


" Saya merasa, kecelakaan kecil yang menimpa saya ini, membawa berkah. Kebetulan sekali tepat hari ini adalah hari ulang tahun saya. Maka hari ini pulalah saya merayakannya dan dengan saya beri tema bah-wa-kah, yang artinya: musibah yang membawa berkah...."


Riuh tawa memenuhi segenap ruangan. Jadinya acaranya berubah menjadi acara bahagia. Dengan hidangan yang telah di bawa sendiri oleh murid-murid itu. Maka sambil bertepuk tangan, mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk pak guru. Pak Joko, mengucapkan terimakasih kepada semuanya.


" Wah, Bon, ya baru kali ini aku menjumpai acara 'bahwakah'," ujar Parto sepulang dari menghadiri Ul-Tah pak gurunya.


" Itulah keberuntungan namanya.... Yang dianugerahkan Tuhan kepada orang yang mau bersyukur."

Mengapa Ulat Menjadi Kupu-Kupu

Dahulu kala di sebuah taman yang kecil, hiduplah sekumpulan ulat dan juga beberapa Bunga Sepatu dan Bunga Mawar. Pada awalnya mereka semua bersahabat. Sampai suatu hari, sekuntum bunga mawar bernama Okit dengan sombongnya berkata.

“Hei para ulat! Jangan terus memakani daun kami!”

“Ya benar! Lihat…daun-daun kami jadi rusak, pergi kalian dari taman ini!” sahut bunga mawar lainnya.

Ulat-ulat merasa sangat sedih. Mereka memang memakani daun-daun bunga di taman itu. Tetapi jika mereka tidak makan, tentu mereka akan mati kelaparan. Akhirnya dengan kerendahan hati mereka berniat pergi dari taman itu. Namun sekuntum bunga sepatu mencegahnya.

“Hei, kalian jangan pergi,” kata Rena si bunga sepatu kepada ulat, “kalian boleh memakan daun kami para bunga sepatu di taman ini.”

“Benar, kami rela membagi daun kami kepada kalian,” ucap bunga sepatu lainnya.

Ulat sangat berterimakasih atas kebaikan bunga sepatu dan berkata.

“Terimakasih, kalian telah menolong kami.”

Akhirnya di taman itu bunga mawarlah yang paling indah karena daun mereka utuh. Terkadang beberapa bunga mawar mengejek bunga sepatu yang daun-daunnya bolong akibat dimakani ulat.

Suatu ketika, seorang manusia mendatangi taman itu. Dia berkata.

“Aku akan mengambil beberapa bunga disini. Oh tidak…bunga-bunga sepatu ini daunnya dimakani ulat. Aku ambil lima bunga mawar ini saja, daunnya masih bagus.”

Lalu manusia itu mencabut lima bunga mawar dari taman itu dan pergi. Taman itu berduka, khususnya bunga mawar. Mereka kehilangan lima anggotanya. Sekuntum bunga sepatu tiba-tiba berbisik kepada ulat.

“Kami harus berterimakasih kepada kalian. Kalau daun kami tidak dimakani kalian, mungkin kami juga diambil oleh manusia seperti lima bunga mawar itu.”

Di taman itu kini hanya tersisa lima bunga mawar. Mereka berlima takut akan diambil juga oleh manusia. Akhirnya mereka menyadari kesombongannya dan berkata.

“Kalian para ulat, kami mohon maafkanlah kesombongan kami. Kalian sekarang boleh memakan daun kami. Kami takut akan dicabut dari tanah seperti kelima saudara kami.”

“Tapi mawar, daun itu memang milik kalian, hak kalian untuk memberikannya kepada kami atau tidak,” tukas Hili si ulat jantan.

“Tidak ulat, sungguh kami sangat menyesal,” ucap Okit, “sudah seharusnya kami memberikan daun-daun kami untuk kalian makan. Bukankah sesama makhluk hidup kita harus saling tolong-menolong?”

Rena si bunga sepatu menjawab.

“Itu benar Kit. Bisa-bisa beberapa waktu kedepan bunga-bunga di sini akan habis dicabuti oleh manusia.”

Mendengar perkataan kedua bunga itu ulat-ulat sangat terharu dan seekor ulat menjadi bersemangat untuk berkata.

“Terima kasih para bunga, kalian sangat baik kepada kami,” teriak Hili berkaca-kaca, “kelak kami akan membalas jasa kalian!”

Beberapa hari berlalu, setelah ulat memakan daun-daun bunga mawar dan bunga sepatu, mereka bersepuluh berubah menjadi kepompong. Dalam beberapa minggu kepompong itu menetas dan ulat-ulat itu berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Para bunga takjub melihat perubahan itu, dan salah satu dari mereka berkata.

“Wah…kalian telah berubah wujud! Kalian kini bersayap dan indah sekali!”

“Terima kasih, “ kata Hili yang kini telah menjadi kupu-kupu, “Sekarang kami akan memenuhi janji kami. Kami akan membalas jasa kalian.”

Sepuluh kupu-kupu itu menolong bunga menyebarkan benihnya. Mereka menggunakan kemampuan terbangnya untuk menyebarkan benih-benih bunga mawar dan bunga sepatu secara merata di taman itu. Bunga-bunga sangat berterimakasih kepada kupu-kupu. Kini kupu-kupu tidak lagi mendapatkan daun dari bunga, tetapi madu yang sangat manis dan lebih enak daripada daun.

Berkat pertolongan sepuluh kupu-kupu, beberapa minggu kemudian jumlah bunga di taman itu bertambah. Kini di taman itu terdapat ratusan bunga mawar dan bunga sepatu. Kehidupan di taman itu menjadi penuh dengan kebahagiaan.

Namun di tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba seorang manusia kembali datang. Seluruh penghuni taman itu pasrah jika ada bunga yang akan dicabut lagi oleh manusia itu.

“Kenanglah taman ini meskipun kalian dicabut olehnya!” teriak Okit kepada seluruh bunga. Perkataan Okit itu menguatkan hati para bunga untuk tetap kuat. Ketika mereka sudah siap menerima keadaan, manusia itu justru berkata.

“Oh Tuhan, taman ini sekarang indah sekali! Bunga-bunganya jauh lebih banyak dan sekarang ada kupu-kupu yang mengitarinya. Aku akan menjaga bunga-bunga ini agar tetap tertanam dan menyiraminya setiap hari.”

Manusia itu kemudian pergi tanpa mencabut sekuntum bunga pun. Seluruh penghuni taman itu bersorak-sorai gembira karena tidak ada yang berpisah. Seluruh bunga mawar, bunga sepatu, dan kupu-kupu kini hidup bahagia. Sampai saat ini, itulah alasan mengapa kupu-kupu mau membantu menyebarkan benih bunga, yaitu untuk membalas jasa bunga yang telah memberi mereka daun.***

Kejujuran Jati

Jati mengusap peluh yang bercucuran di dahinya. Setelah satu jam lamanya ia berkeliling komplek perumahan untuk menawarkan barang dagangannya, ia berhasil mengumpulkan beberapa lembar rupiah. Sudah tiga hari ini, Jati berjuang keras untuk mengisi liburan sekolahnya dengan berjualan susu kedelai buatan ibunya. Ia berkeliling komplek perumahan yang tak jauh dari kampungnya. Ia belum akan kembali ke rumah sebelum semua dagangannya laku terjual.. sekilas terbayang raut muka memelas wajah Asih, adik satu-satunya.


Jati memang ingin mengumpulkan uang sekedar untuk membelikan obat adiknya, yang kini terbaring lemah tak berdaya. Hanya itu yang bisa dilakukan Jati, mengingat Ayahnya yang bekerja sebagai buruh serabutan tak mampu membawa Asih ke Dokter apalagi Rumah Sakit. Pernah suatu ketika Asih dibawa ke Rumah Sakit karena penyakit radang paru-paru yang dideritanya. Namun, belum sampai tuntas pengobatannya Asih harus segera dibawa pulang karena tak kuat menanggung biaya Rumah Sakit yang begitu mahalnya.


" Alhamdulillah, daganganku laris hari ini. Susu kedelai buatan Ibu memang luar biasa " Gumam Jati, setelah itu ia menghitung lembaran rupiah yang berhasil ia kumpulkan hari ini. " Dua puluh ribu, Yess! Itu artinya aku masih bisa menyisihkan uang untuk membeli obat buat Asih. Sabar ya dik, Aku akan senantiasa berdo'a dan berusaha untuk kesembuhanmu. Supaya kita bisa kembali bermain, belajar, mengaji abatatsa di Mushala, Ustadz Ahmad pun tentu sudah kangen dengan celotehmu yang lugu dan lucu "

Jati terus berjalan menyusuri komplek perumahan menuju rumahnya. " ini adalah hari yang menyenangkan bagiku, susu kedelai buatan ibu terjual habis. Sore nanti aku akan kembali berkeliling, menjajakan minuman kesehatan buatan ibuku tersayang. Dan siang ini aku masih bisa bermain layang-layang bersama Sufyan. Sungguh liburan yang paling menyenangkan "


Ditengah-tengah perjalanan menuju kampungnya, kaki Jati menyampar sebuah dompet. "Ups,.. dompet siapa ini?" tanya Jati keheranan. Dengan gemetar ia membuka isinya. "Masyaallah, uang??!!" Jati semakin terperanjat kaget karena bisa dipastikan ia tak pernah memegang atau memiliki uang sebanyak ini. Kepala Jati menoleh kanan dan kiri, tak ditemuinya seorang pun. Keringat panas dingin mendadak bercucuran dari dahi Jati. "ah... aku tak pernah memegang uang sebanyak ini" gumamnya. "lalu milik siapa ini?!". Buru-buru jati menyimpan dalam plastik hitam yang ia bawa. bergegas ia berlari menuju rumahnya hendak bercerita kepada Ibunya.



Di sepanjang perjalanan, Jati terus membayangkan seandainya ia punya uang sebanyak ini tentu ia dan keluarganya tak perlu bersusah payah bekerja demi kesembuhan Asih. Pikirannya berbisik, "Ambillah uang itu, toh tidak ada yang tahu kalau kamu menemukan uang itu. Tak usah dikembalikan kepada pemiliknya. Pasti ia orang kaya dan bisa dengan mudah mencari uang lagi. Sedangkan kamu, waktu liburan saja kau gunakan untuk berkeliling komplek perumahan demi selembar uang dua puluh ribuan. Ayo ambillah". Batin Jati terus bergejolak mendadak Jati segera beristighfar. "Astaghfirullah, mengapa aku memiliki pikiran sepicik ini. Bukankah uang ini bukan milikku, meski aku yang menemukannya dan tak seorangpun tahu ". semakin keras Jati ayunkan langkah menuju rumahnya.

"Assalamu'alaikum" ucap Jati ketika memasuki gubuk tuanya. "Wa'alaikum salam" jawab Ibunya. "Bu, Ibu, aku menemukan ini bu" ucap jati kepada Ibunya, yang tengah berdiri membukakan pintu. "Kenapa tho Le, koq teriak-teriak dan kamu terlihat pucat sekali" jawab Ibunya. "Aku menemukan dompet bu" ungkap Jati. "Dimana?" tanya Ibu dengan nada keheranan. "Di komplek perumahan sepulang aku berjualan bu, dan jumlahnya aku belum sempat menghitung tapi kupikir banyak sekali" Ibu terkejut mendangar cerita Jati. Dengan terengah-engah Jati melanjutkan ceritanya. "aku tidak tahu bu, dompet ini milik siapa. Dan aku belum sempat membuka seluruh isinya, aku takut bu di tengah-tengah seluruh keterbatasan kita, kita menjadi gelap mata dan ingin memiliki yang bukan hak kita. Maka aku bergegas kembali kerumah untuk bercerita kepada Ibu. Ini bu dompetnya." Jati memberikan bungkusan plastik hitam kepada ibunya.

Ibu sangat terkejut ketika melihat isinya. "Masyaallah, pasti yang punya merasa sangat kehilangan uang ini Le. Coba kamu lihat dan cari identitas atau tanda pengenal dalam dompet itu" sergah Ibu Jati. "baik bu" Jati menimpali. "Ini bu, ada KTP tertera nama dr.Heryawan SpOG alamatnya di Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Pasti dompet ini miliknya bu" jawab Jati. "Baiklah mari kita segera kerumahnya, pasti dokter Heryawan sangat kehilangan".


Bergegas Ibu Jati mematikan kompor di dapurnya. "Air ini sudah mendidih dan nasi sudah tersedia kalau nanti bapakmu pulang dan kita tidak dirumah semua sudah terhidang. Ibu akan menitip pesan kepada Asih biar nanti ia menyampaikan kita sedang kerumah dokter Heryawan". Tukas Ibu Jati. Dengan sigap ia memberesi seluruh pekerjaan di dapurnya. "Tapi Bu," Ucap Jati. "kenapa? Apa yang kamu pikirkan Jati?" sergah Ibunya. "kita kan, bisa mengambil beberapa lembar saja dari uang itu, toh pemiliknya juga pasti dengan mudah akan mencarinya lagi, toh pasti ia orang kaya" dengan terbata Jati berucap.


"Istighfar Jati, Allah pasti akan marah jika kita melakukan hal ini. Ingatlah ini bukan milik kita, bukan hak kita, meskipun kita sangat membutuhkannya. Ayolah bergegas kita kerumah pemilik dompet ini, sebelum siang datang menjelang, karena ibu masih harus menyiapkan susu kedelai untuk kamu jual lagi sore ini" Ucap ibunya dengan nada tinggi.
"Astagfirullah, baiklah Bu" Jawab Jati dengan nada penuh sesal.

Jati dan ibunya berjalan menuju komplek perumahan Limas untuk mencari alamat dokter Heryawan. Bukan hal yang sulit bagi Jati dan Ibunya untuk menemukan rumah dokter Heryawan, toh hampir seluruh komplek perumahan ini sudah pernah dijajahi Jati.

"Ini pasti rumahnya bu, dr. Heryawan Jl. Melati Blok C Nomer 5A Perum Limas. Wah bagus sekali rumahnya, asri dan sangat bersih"

"Assalamu'alaikum" Ibu Jati mengucapkan salam. Tak lama kemudian dibukakanlah pintu dan datanglah seorang bapak berkacamata. "Wa'alaikum salam, ada yang bisa saya bantu bu, anda mencari siapa?" tanyanya. "Apakah ini benar rumah dokter Heryawan?" tanya Ibu Jati. "Betul Bu, saya dokter Heryawan, silahkan masuk dan silahkan duduk" jawab dokter Heryawan.
"Terimakasih" Jati dan Ibunya masuk kerumah dokter Heryawan. Mata jati tak henti hentinya memandang kesekeliling ruang tamu dokter Heryawan.

"Begini Pak, Anak saya, Jati pagi tadi ketika pulang dari berjualan menemukan dompet ini Pak, dan didalamnya ada identitas nama bapak dan sejumlah uang yang kami tidak membuka seluruh isinya" ucap ibu Jati memberikan penjelasan kepada dokter itu.
"Oh Iya, Alhamdulillah. Benar bu, saya kehilangan dompet pagi tadi. Isinya identitas saya dan beberapa surat-surat penting. Berarti Nak Jati ini yang menemukan" ungkap dokter Heryawan.
"Betul Pak, tak sengaja sepulang berjualan keliling komplek ini, kaki saya menyampar sesuatu ternyata dompet" ungkap Jati menjelaskan.

"Ini Pak, dompetnya" Ucap ibu Jati sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam berisi dompet.
"Iya benar sekali, ini milik saya, Alhamdulillah masih rezeki saya. Isinya juga masih utuh. Terimakasih banyak ya, Nak Jati dan Ibu, berkat nak Jati dompet saya dan surat-surat penting itu masih utuh". ucap dokter Heryawan dengan nada syukur.
"Sebelumnya, saya boleh tahu Ibu rumahnya dimana? Dan nak Jati berjualan apa keliling komplek ini?" tanya dokter Heryawan.
"Saya sekeluarga tinggal di kampung sebelah pak, tidak jauh dari komplek perumahan ini. Dirumah saya membuat susu kedelai untuk dijual Jati di sekitar komplek ini". Jawab Ibu Jati

"Baiklah Pak, kami segera pamit" ucap ibu Jati.
"Tunggu sebentar bu" dokter Herywan masuk kedalam dan keluar dengan membawa bungkusan plastik berwarna hitam. "Ini ada sekedar oleh-oleh buat keluarga Ibu dirumah dan ini buat nak Jati" dokter Heryawan menyerahkan bungkusan platik hitam kepada Ibu dan menyerahkan amplop kepada Jati.
"Tak usah repot-repot Pak, ini sudah kewajiban kami" jawab Ibu Jati sambil berpamitan.
"Tidak apa-apa bu, sekedar ucapan terimakasih. Dan saya akan sangat senang jika ibu bersedia menerimanya. Jangan lupa sering-seringlah bertandang kerumah ini."
"Baiklah Pak, terimakasih kami akan segera berpamitan pulang" jawab Ibu
"Ya bu terimakasih kembali. Tapi sebentar bu, biar saya antarkan pulang" ucap dokter Heryawan.
"Tidak usah Pak, khawatir merepotkan saja. Sekali lagi terimakasih. Rumah kami tidak terlalu jauh koq. Assalamu'alaikum " bergegas Jati dan Ibunya berpamitan.

Disepanjang perjalanan Jati tak henti-hentinya bersyukur dan berucap terimakasih. Bukan karena lantaran amplop yang ia terima tadi. Tetapi ia lebih bersyukur karena dikaruniai sesosok ibu yang luar biasa. "Terimakasih ya Allah, engkau karuniakan aku seorang ibu yang baik, yang akan terus mendidik, membesarkan dan mengingatkanku ketika salah serta menuntunku dalam menjalani hidup ini" Gumam Jati penuh syukur.

Alarm Berbisik

Shasa masih berbaring di tempat tidurnya sambil menatap kalender yang tergantung di dinding kamarnya. Mama baru saja keluar kamarnya setelah membangunkan dirinya. Tiba-tiba mata Shasa terbelalak. Hah?! Empat hari lagi mama ulang tahun! Aduuhh.. kok ia bisa lupa ya? Duh.. Shasa ingin memberi kejutan yang berkesan buat mama tapi apa ya? Sebuah ide melintas. Nanti sepulang sekolah ia akan menelepon papa di kantornya. Siapa tahu papa akan dapat memberinya ide. Tapi.. jangan sampai mama mendengar pembicaraan mereka. Itu artinya Shasa harus menunggu situasinya aman sebelum ia menelepon papa. Cepat-cepat Shasa bangkit dari tidurnya. Kalau ia berlama-lama, bisa-bisa waktu subuh sudah berlalu. Dari arah dapur tercium aroma nasi goreng yang menggugah selera. Hmmm.. sedaapp!

Hari itu kebetulan tidak ada jadwal kursus. Sepulang sekolah Shasa bisa sedikit bersantai sambil memerhatikan situasi. Ia harus memastikan mama tidak mendengar percakapannya dengan papa.

Tak lama kemudian dilihatnya mama masuk ke kamar mandi. Sreekk.. Sreekk.. rupanya mama sedang menyikat kamar mandi. Kesempatan yang dinantinya sudah tiba! Shasa langsung melompat dari tempat tidurnya. Dihubunginya papa yang sedang berada di kantor. Untung papa sedang tidak sibuk. Diceritakannya kepada papa perihal ulang tahun mama.

“Bagaimana kalau papa memasak buat mama?” tanya Shasa.

“Memasak?! Wah.. Papa kan tidak bisa memasak, Sha,” kata papa.

“Kalau begitu jalan-jalan ke luar kota saja,” usul Shasa.

“Lohh.. nanti Shasa bagaimana? Shasa mau di rumah sendirian? Hari ulang tahun mama kan bukan hari Sabtu atau Minggu,” kata papa.

Shasa menepuk dahinya. Benar juga yang dikatakan papa.

“Pesan bunga saja, Pa,” Shasa mengemukakan usul lain.

“Wah.. seperti di sinetron saja,” komentar papa.

Shasa tertawa mendengarnya. “Ya sudah kalau begitu papa belikan mama kado saja. Nanti di kartunya ditulis dari Shasa dan papa,” kata Shasa.

“Terus kadonya apa?” tanya papa.

“Apa ya, Pa?” Shasa balik bertanya.

“Bagaimana kalau nanti Papa sudah sampai rumah kita lanjutkan diskusi kita?” Papa mengajukan usul. “Sekarang Papa harus menyiapkan bahan untuk rapat dengan klien,” kata papa.

“Nanti mama bisa tahu rencana kita dong, Pa,” kata Shasa.

“Kita kan bisa curi-curi kesempatan,” papa menenangkan Shasa.

Shasa terkikik mendengarnya. Duhh.. ada-ada saja papa ini. Curi-curi kesempatan? Kok seperti judul sinetron saja.

Malam harinya, setelah melalui perdebatan seru antara Shasa dan papa, tercapai juga kata sepakat kejutan apa yang akan diberikan untuk mama yang akan berulang tahun. Papa dan Shasa akan menyiapkan sarapan untuk mama. Menunya Roti Bakar yang dalamnya ditaburi meises dan susu kental. Bagian luarnya diberi parutan keju dan ditambahkan susu kental. Minumnya teh hijau kesukaan mama. Hmmm.. Membayangkannya saja sudah membuat air liur Shasa menetes.

Untuk memuluskan rencana mereka, Shasa sengaja merayu mama menemaninya tidur.

“Biasanya Shasa tidur sendiri di kamar Shasa. Kenapa malam ini minta ditemani?” mama mengerutkan keningnya.

“Shasa kangen ingin ditemani mama. Sekali ini saja deh, Ma, ya..ya..ya..” Shasa mengeluarkan jurus rayuannya.

“Sekali ini saja loh, Sha,” mama menegaskan.

Shasa melonjak dan memeluk mama. Hmmm.. Besok mama pasti senang ketika bangun pagi sarapannya sudah tersedia.

Keesokan paginya sebuah tepukan dan ciuman membangunkan Shasa.

“Ayo bangun sayang.. Nanti kesiangan loh..” sebuah suara lembut terdengar.

Shasa membuka matanya. Dilihatnya mama sedang tersenyum memandangnya. Shasa mengucek-ngucek matanya. Direntangkannya tangannya dan diputarnya badannya ke kiri dan ke kanan. Sesuatu tiba-tiba menyentakkannya. Mengapa mama yang membangunkannya? Bukankah seharusnya papa yang membangunkan dirinya dan bersama-sama mereka akan mengucapkan selamat ulang tahun untuk mama?

Setelah mama keluar dari kamarnya, Shasa berlari menuju kamar orangtuanya. Dibukanya pintu kamar dan dilihatnya papa masih berbaring di tempat tidur. Shasa menarik selimut yang menutupi papa. Ditepuk-tepuknya pipi papa.

“Pa.. Papa.. bangun dong.. Rencana kita gagal nih, Pa,” Shasa menarik selimut yang menyelimuti papa. Dilihatnya mata papa mulai bergerak-gerak.

“Aduh papa.. sarapannya bagaimana?” Shasa menggoyang-goyangkan tubuh papanya.

Papa terduduk dengan terkejut.

“Lohh.. kenapa alarmnya tidak berbunyi ya, Sha?” tanya papa bingung. Mereka berpandangan. Sama-sama tidak tahu harus bagaimana.

Mama muncul di pintu kamar dan memandang mereka berdua dengan heran.

“Kalian bukannya Sholat Subuh kok malah bengong di tempat tidur?” tanya mama.

Papa dan Shasa berpandangan.

“Semalam Papa menyalakan alarm tapi kenapa tidak berbunyi ya?” tanya Papa bingung.

“Oohh.. Alarmnya berbunyi tapi berhubung mama lihat papa tidak terbangun ya mama matikan. Lagipula Mama lihat baru pukul setengah lima pagi.” kata mama.

“Memangnya ada apa sih?” tanya mama sedikit bingung.

“Rencananya papa mau bangun pagi dan menyiapkan sarapan buat mama. Hari ini mama kan berulang tahun. Tapi ternyata papa malah bangun kesiangan,” kata Shasa sambil memandang sebal ke arah papa.

“Habis alarmnya bunyinya berbisik sih jadi tidak terdengar oleh Papa,” kilah Papa. Mama tertawa kecil mendengarnya. Ada-ada saja Papa ini masa’ alarm bisa berbisik.

“Selamat Ulang Tahun, Ma,” Papa berkata sambil menghampiri mama dan mencium pipi mama.

Shasa tidak mau kalah. Diciumnya kedua pipi mama.

“Terima kasih Papa. Terima kasih Shasa sayang. Buat Mama, kalian ingat ulang tahun Mama sudah merupakan kejutan yang indah,” kata mama sambil memeluk Shasa.

“Sekarang lekas Sholat Subuh. Setelah itu Shasa mandi dan sarapan,” perintah mama.

Sebelum mengambil air wudhu, Shasa sempat melihat menu sarapannya. Roti bakar meises dengan parutan keju dan susu kental. Uhmm.. Mantap!!

“Gara-gara alarm berbisik, Shasa gak jadi deh menikmati roti bakar buatan Papa,” komentar Shasa membuat mama tertawa lepas sementara papa tersipu malu.

Sabtu, 25 Juli 2009

Burung Bangau Dengan Seekor Ketam

Pada zaman dahulu terdapat sebuah tasik yang sangat indah. Airnya sungguh jernih dan di dalamnya ditumbuhi oleh pokok-pokok teratai yang berbunga sepanjang masa. Suasana di sekitar tasik tersebut sungguh indah. Pokok-pokok yang tumbuh di sekitarnya hidup dengan subur. Banyak burung yang tinggal di kawasan sekitar tasik tersebut. Salah seekornya adalah burung bangau. Manakala di dalam tasih hidup bermacam-macam ikan dan haiwan lain. Ada ikan telapia sepat, kelah, keli, haruan dan bermacam-macam ikan lagi. Selain daripada ikan,terdapat juga ketam dan katak yang turut menghuni tasih tersebut.

Burung bangau sangat suka tinggal di kawasan tasik tersebut kerana ia senang mencari makan. Ikan-ikan kecil di tasik tersebut sangat jinak dan mudah ditangkap. Setiap hari burung bangau sentiasa menunggu di tepi tasik untuk menagkap ikan yang datang berhampiran dengannya.

Beberapa tahun kemudian burung bangau semakin tua. Ia tidak lagi sekuat dulu untuk menangkap ikan. Kadang- kadang ia tidak memperolehi ikan untuk dimakan menyebabkan ia berlapar seharian. Ia berfikir di dalam hatinya seraya berkata "Kalau beginilah keadaanya, aku akan mati kelaparan kerana tidak lagi berdaya untuk menangkap ikan. Aku mesti mencari jalan supaya aku dapat memperolehi makanan dengan mudah".

Burung bangau mendapat idea dan berpura-pura duduk termenung dengan perasan sedih di tebing tasik. Seekor katak yang kebetulan berada di situ ternampak bangau yang sangat murung dan sedih lalu bertanya "Kenapakah aku lihat akhir-akhir ini kamu asik termenung dan bersedih sahaja wahai bangau?". Bangau menjawab " Aku sedang memikirkan keadaan nasib kita dan semua penghuni tasih ini." "Apa yang merunsingkan kamu, sedangkan kita hidup di sini sudah sekian lama tidak menghadapi sebarang masalah." Jawab katak. "Awak manalah tahu, aku sering terbang ke sana ke mari dan mendengar manusia sedang berbincang tentang bencana kemarau yang akan menimpa kawasan ini dalam beberapa bulan lagi. Kau lihat sajalah sejak akhir-akhir ini hari panas semacam aje, hujan pun sudah lama tidak turun". Bangau menyambung lagi "Aku khuatir tasik ini akan kering dan semua penghuni di tasik ini akan mati." Katak mengangguk- ngangukkan kepalanya sebagai tanda bersetuju dengan hujah bangau tadi. Tanpa membuang masa katak terus melompat ke dalam tasik untuk memaklumkan kepada kawan-kawan yang lain.

Berita bencana kemarau telah tersebar ke seluruh tasih begitu cepat dan semua penghuni tasik berkumpul ditebing sungai dimana bangau berada. Masing-masing riuh rendah menanyakan bangau akan berita tersebut. Seekor ikan haruan bertanya kepada bangau "Apakah cadangan engkau untuk membantu kami semua?" Burung bangau berkata "Aku ada satu cadangan, tetapi aku khuatir kamu semua tidak bersetuju." "Apakah cadangan tersebut" kata haruan seolah-olah tidak sabar lagi mendengarnya. Bangau berkata " Tidak jauh dari sini ada sebuah tasik yang besar dan airnya dalam, aku percaya tasik tersebut tidak akan kering walaupun berlaku kemarau yang panjang." "Bolehkah engkau membawa kami ke sana" sampuk ketam yang berada di situ. "Aku boleh membawa kamu seekor demi seekor kerana aku sudah tua dan tidak berdaya membawa kamu lebih daripada itu" kata burung bangau lagi.. Mereka pun bersetuju dengan cadangan burung bangau.

Burung bangau mula mengangkut seekor demi seekor ikan daripada tasik tersebut, tetapi ikan- ikan tersebut tidak dipindahkan ke tasik yang dikatakannya.Malahan ia membawa ikan-ikan tersebut ke batu besar yang berhampiran dengan tasik dan dimakannya dengan lahap sekali kerana ia sudah tidak makan selama beberapa hari. Setelah ikan yang dibawanya dimakan habis, ia terbang lagi untuk mengangkut ikan yang lain. Begitulah perbuatanya sehingga sampai kepada giliran ketam. Oleh kerana ketam mempunyai sepit ia hanya bergantung pada leher burung bangau dengan menggunakan sepitnya. Apabila hampir sampai ke kawasan batu besar tersebut,ketam memandang ke bawah dan melihat tulang-tulang ikan bersepah di atas batu besar. Melihat keadaan tersebut ketam berasa cemas dan berfikir di dalam hatinya "Matilah aku kali ini dimakan oleh bangau." Lalu ia memikirkan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya daripada ratahan bangau yang rakus. Setelah tiba di atas batu besar ketam masih lagi berpegang pada leher bangau sambil berkata "Dimanakah tasik yang engkau katakan itu dan kenapa engakau membawa aku di sini?" Bangau pun tergelak dengan terbahak-bahak lalu berkata "Kali ini telah tiba masanya engkau menjadi rezeki aku." Dengan perasaan marah ketam menyepit leher bangau dengan lebih kuat lagi menyebabkan bangau sukar untuk bernafas, sambil merayu minta di lepaskan, ia berjanji akan menghantar ketam kembali ke tasik tersebut. Ketam tidak mempedulikan rayuan bangau malah ia menyepit lebih kuat lagi sehingga leher bangau terputus dua dan bangau mati di situ jua.

Dengan perasaan gembira kerana terselamat daripada menjadi makanan bangau ia bergerak perlahan-lahan menuju ke tasik sambil membawa kepala bangau. Apabila tiba di tasik, kawan-kawannya masih lagi setia menunggu giliran masing-masing. Setelah melihat ketam sudah kembali dengan membawa kepala bangau mereka kehairanan dan ketam menceritakan kisah yang berlaku. Semua binatang di tasik tersebut berasa gembira kerana mereka terselamat daripada menjadi makanan burung bangau yang tamak dan mementingkan diri sendiri. Mereka mengucakpan terima kasih kepada ketam kerana telah menyelamatkan mereka semua.

Seruling Sakti

Pada zaman dahulu terdapat sebuah pekan kecil yang sangat cantik terletak di kaki bukit. Pekan tersebut di kenali Hamelyn. Penduduk di pekan tersebut hidup dengan aman damai, tetapi sikap mereka tidak perihatin terhadap kebersihan. Pekan tersebut penuh dengan sampah sarap. Mereka membuang sampah di merata-rata menyebabkan pekan tersebut menjadi tempat pembiakan tikus. Semakin hari semakin banyak tikus membiak menyebabkan pekan tersebut dipebuhi oleh tikus-tikus.

Tikus-tikus berkeliaran dengan banyaknya dipekan tersebut. Setiap rumah tikus-tikus bergerak bebas tanpa perasaan takut kepada manusia. Penduduk di pekan ini cuba membela kucing untuk menghalau tikus dan ada diantara mereka memasang perangkap tetapi tidak berkesan kerana tikus terlampau banyak. Mereka sungguh susah hati dan mati akal bagaimana untuk menghapuskan tikus-tikus tersebut.

Musibah yang menimpa pekan tersebut telah tersebar luas ke pekan-pekan lain sehinggalah pada suatu hari seorang pemuda yang tidak dikenali datang ke pekan tersebut dan menawarkan khidmatnya untuk menghalau semua tikus dengan syarat penduduk pekan tersebut membayar upah atas kadar dua keping wang mas setiap orang. Penduduk di pekan tersebut berbincang sesama mereka diatas tawaran pemuda tadi. Ada diatara mereka tidak bersetuju oleh kerana mereka tidak sanggup untuk membayar upah yang sangat mahal. Setelah berbincang dengan panjang lebar akhirnya mereka bersetuju untuk membayar upah seperti yang diminta oleh pemuda itu kerana mereka tidak mempunyai pilihan lain.

Keputusan tersebut dimaklumkan kepada pemuda tadi, lalu dia mengeluarkan seruling sakti dan meniupnya. Bunyi yang keluar dari seruling itu sangat merdu dan mengasik sesiapa yang mendengarnya. Tikus-tikus yang berada dimerata tempat didalam pekan tersebut mula keluar dan berkumpul mengelilinginya. Pemuda tadi berjalan perlahan-lahan sambil meniup seruling sakti dan menuju ke sebatang sungai yang jauh dari pekan tersebut. Apabila sampai ditepi sungai pemuda tadi terus masuk kedalamnya dan diikuti oleh semua tikus.Tikus-tikus tadi tidak dapat berenang didalam sungai dan semuanya mati lemas.

Kini pekan Hamelyn telah bebas daripada serangan tikus dan penduduk bersorak dengan gembiranya. Apabila pemuda tadi menuntut janjinya, penduduk tersebut enggan membayar upah yang telah dijanjikan kerana mereka mengangap kerja yang dibuat oleh pemuda tadi tidak sepadan dengan upah yang diminta kerana hanya dengan meniupkan seruling sahaja. Pemuda tadi sangat marah lalu dia menuipkan seruling saktinya sekali lagi. Irama yang keluar dari seruling itu sangat memikat hati kanak-kanak menyebabkan semua kanak-kanak berkumpul di sekelilingnya. Satelah semua kanak-kanak berkumpul pemuda tadi berjalan sambil meniupkan seruling dan diikuti oleh semua kanak-kanak. Pemuda itu membawa kanak-kanak tersebut keluar dari pekan Hamelyn. Setelah Ibu Bapa menyedari bahawa mereka akan kehilangan anak-anak, mereka mulai merasa cemas kerana kanak-kanak telah meninggalkan mereka dan mengikuti pemuda tadi. Mereka mengejar pemuda tadi dan merayu supaya menghentikan daripada meniup seruling dan memulangkan kembali anak-anak mereka. Merka sanggup memberi semua harta benda yamg ada asalkan pemuda tersebut mengembalikan anak-anak mereka.

Rayuan penduduk tidak diendahkan oleh pemuda tadi lalu mereka membawa kanak-kanak tersebut menuju kesuatu tempat dan apabila mereka sampai disitu muncul sebuah gua dengan tiba-tiba. Pemuda tadi mesuk ke dalam gua itu dan diikuti oleh kanak-kanak. Setelah semuanya masuk tiba-tiba gua tersebut gaib dan hilang daripada pandangan penduduk pekan tersebut. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa oleh kerana mereka telah memungkiri janji yang mereka buat. Merka menyesal diatas perbuatan mereka tetapi sudah terlambat. Sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna.

Sehingga hari ini penduduk pekan Hamelyn tidak melupakan kesilapan yang dilalukan oleh nenek moyang mereka. Menepati janji adalah pegangan yang kuat diamalkan oleh penduduk pekan Hamelyn sehingga hari ini.

PUTERI SAADONG

PUTERI SAADONG BERAKHIR DI BUKIT MARAK?

Pemerintahan Puteri Saadong dikatakan berakhir pada kira-kira menjelang kurun ke-18, di akhir-akhir pemerintahan baginda tidak langsung disebut baik mana-mana juga buku sejarah, bahkan cerita-cerita lisan dari penduduk-penduduk negeri Kelantan pun tidak didapati, puas juga saya menjelajah keseluruh negeri Kelantan, ke Kampung-kampung yang jauh di pendalaman dan pernah juga saya menajalankan kajian di bukit Marak yang dikatakan tempat akhir sekali Puteri Saadong bersemayam tidak saya temui bahan-bahan yang boleh menolong mengesan lingkaran sejarahnya yang berikut.

Dengan berakhirnya pemerintahan Raja Abdul Rahim yang menggantikan pemerintahan Raja Abdullah di Kota Mahligai dan juga pemerintahan Puteri Saadong di Bukit Marak maka muncul semula pemerintahan di Jembal, iaitu pemerintahan Sultan umar (Raja Umar), baginda ini ialah adik kepada Raja Loyor, dan pangkat bapa saudara pula kepada Puteri Saadong.

Pemerintahan baginda ini dikatakan bermula pada tahun 1675, baginda mempunyai beberapa orang putera dan puteri, putera sulung baginda bernama Raja kecil Solong yang dirajakan di Kota Teras (di Kampung Teras dekat Kampung Mentuan), seorang lagi putera baginda bernama Raja Ngah atau dipanggil juga Raja Hudang memerintah di Tebing Tinggi Pusaran Buah (Kampung Tanjung Chat), seorang puteri Sultan Umar bernama Raja Pah telah berkahwin pula dengan Tuan Besar Long Bahar seorang putera raja yang datang dari Patani (dalam negeri Thai).

Mengenai Tuan Besar Long Bahar pula menurut Ringkasan Cetera Kelantan yang ditulis oleh Datuk Paduka Raja Kelantan Nik Mahmud bin Ismail adalah putera Wan Daim ataudisebut juga Datuk Pangkalan Tua, raja dari negeri Petani yang zuriatnya berasal dari keturunan anak-anak Raja Bugis bernama Paqih Ali.

Tuan Besar Long Bahar mempunyai beberapa orang saudara iaitu Tuan Solong Kelantan, Tuan Senik Genting dan Datuk Pasir Petani. Oleh kerana terjadinya perselisihan keluarga maka Tuan Besar Long Bahar telah merantau ke Negeri Kelantan dengan membawa bersama seorang putera yang bernama Long Sulaiman, dan di Kelantan Long Besar berkahwin pula dengan Raja Pah puteri Sultan Umar, kemudian Tuan Besar Long Bahar berpindah membuka sebuah tempat yang diberi nama Kota Kubang Labu (dalam Wakaf Baru sekarang).

Dalam tahun 1721 Sultan Umar telah mangkat dan baginda inilah juga yang disebut atau digelar raja Udang yang mana makamnya terdapat masa ini didalam kawasan sawah padi kira&127;&127;&127;&127;-kira dua rantai jauhnya dari sekolah Rendah Kebangsaan Kedai Lalat, begitu juga dengan Raja Bahar kekanda baginda yang memerintah Jembal yang mangkat pada tahun 1675 yang digelar raja ekor yang makamnya terdapat sekarang ini dikampung Tok kambing, Mukim Sering dekat Kota Bharu.

Dengan kemangkatan Sultan umar makam putera sulung baginda yang bernama Raja Kecil Solong yang sedang memerintah di Kota Teras tidak mahu mengambil alih pemerintahan di Jembal dari ayahndanya, dan dengan persetujuan baginda jugalah lalu diangkat adik iparnya iaitu Tuan Besar Long Bahar menjadi raja di Jembal, dan dengan itu Kota Kubang Labu diserahkan kepada pemerintahan putera baginda yang bernama Long Sulaiman, putera ini ialah dari isteri baginda di Patani.

Apabila pemerintahan Jembal dan juga pemerintahan di Kota Kubang Labu terserah kepada pemerintahan Tuan Besar Long Bahar dan putera baginda maka berakhirlah satu peringkat pemerintahan yang berasal dari zuriat Raja sakti yang memerintah Jembal, dan pada peringkat ini pula maka zuriat keturunan dari Tuan Besar Long Baharlah yang memerintah Jembal juga Kota Kubang Labu keturunan dari Tuan Besar Long Bahar ini jugalah asalnya raja-raja yang memerintah Negeri Kelantan hingga sekarang ini.

Dalam tahun 1977 dan seterusnya hingga tahun-tahun yang kemudian saya telah menjalankan kajian dibeberapa tempat disekitar Kedai Lalat yang letaknya kira-kira 7 batu dari bandar Kota Bharu, di kampung tersebut terletaknyamakam-makam Raja Loyor , iaitu ayahnda Puteri Saadong, menurut cerita dari penduduk-penduduk kampung sekitar yang saya dapati bahawa pada suatu ketika dulu terdapat beberapa orang siam yang datang untuk mengorek makam tersebut, kononya orang siam tersebut bermimpi bahawa didalam makam tersebut terdapat sebilah keris yang dianggap keramat atau mempunyai kuasa ghaib, begitu juga saya diberitahu pernah disuatu ketika ada orang-orang mencuri serpihan batu nisannya yang dibuat dari batu marmar, beberapa hari kemudian serpihan itu dipulangkan semula, menurut orang yang mengambil serpihan tersebut bahawa ia sering diganggu mimpi yang menakutkan.

Makam Raja Udang atau Sultan Umar mempunyai beberapa kepercayaan pula, makam ini terletak tidak jauh dari Masjid Kedai Lalat, waktu saya melawat ke makam tersebut saya dapati ada sebuah batu besar yang disebut batu hampar terletak berdekatan dengan makam tersebut, orang kampung disekitar ada yang percaya batu tersebut mempunyai kuasa-kuasa ghaib, batu tersebut sepanjang tiga kaki dan lebarnya lebih kurang dua kaki, tebalnya kira-kira enam inci (6 inci), tidak sesiapa yang berani mengambil batu tersebut walaupun pada hemah saya batu tersebut sangat baik dibuat tempat membasuh kain baju, saya percaya batu tersebut digunakan untuk membuat binaan makam, boleh jadi kerana besarnya tidak mencukupi maka lalu ditinggal begitu saja.

Saya juga telah melawat sebuah makam lagi di Kampung Tok Kambing iaitu kira-kira sebatu jauhnya dari Kedai Lalat, makam tersebut ialah dikenali sebagai makam Raja Ekor atau Raja Bahar, makam ini terdapat binaan yang dibuat dari batu pejal, sungguh menarik kerana terdapat ukiran yang terpahat, ukiran tersebut menggambarkan seekor burung (boleh jadi Burung Bangau) sangat menghairankan saya kerana biasanya perkuburan islam tidak menggambarkan benda-benda hidup saperti haiwan-haiwan.

Pahat yang berbentuk burung biasanya mempunyai pengaruh-pengaruh dari utara terutama dari Negeri China (meliputi negeri-negeri di Indo-China), adakah Raja Ekor ini seorang raja yang berasal dari Indo-China ataupun boleh jadi batu makam tersebut sengaja ditempa di Chempa (Republik Khamer) yang waktu di zaman dulu adalah pernah menjadi sebuah kerajaan yang umat islam dan pengaruh islam. Inilah satu perkara yng ahli-ahli penyelidik harus menjalankan pula satu kajian yang lebih mendalam, seelok-eloknya meninjau pula kenegri-negeri di Indo-China untuk melihat makam-makam Islam di zaman dulu yang banyak terdapat di negara tersebut, dapatlah dibuat perbandingan dengan makam-makam raja-raja Jembal yang terdapat di Kelantan terutama makam Raja Ekor yang masih menjadi mesteri.

PUTERI SAADONG BUNUH SUAMI KERANA CEMBURU.

Catitan Ibnu Batutah tentang negeri yang disebut Kilu-Kerai itu kurang jelas, baik tentang letak negeri tersebut dan juga gaya pemerintahan Raja Perempuan yang disebut Urd-uja itu, ialah satu perkara yang sangat rumit dapat dikesan oleh pakar-pakar sejarah.

Dengan keterangan yang sebegitu sedikit maka kita tidaklah boleh memberi kata putus bahawa Kilu-Kerai itulah yang sebenarnya Kuala Kerai yang terdapat di Negeri Kelantan sekarang ini, walau bagaimanapun perkara ini boleh diselesaikan jika sekiranya ada pakar-pakar sejarah yang betul-betul menjalankan penyelidikan khas mengenai perkara tersebut.

Dari beberapa keterangan yang diperolehi yakni berdasarkan dari hikayat-hikayat lama dan juga lain-lain catitan sejarah, adalah Negeri Kelantan telah wujud pemerintahan beraja yang berteraskan agama Islam pada kira-kira awal kurun ke 15, dikatakan raja yang mula-mula memerintah Kelantan yang dapat dikesan ialah Maharaja K'Umar atau disebut juga Raja K'Umar, pemerintahan baginda adalah sekitar tahun masehi 1411, tidak diketahui dimana letaknya pusat pemerintahan baginda, sesetengah ahli sejarah tempatan percaya pusat pemerintahan baginda terletak di Pulau Sabar, iaitu sebuah pulau yang terletak di tengah sungai Kelantan berhampiran dengan Kampung laut, pulau tersebut pada masa ini telah tenggelam.

Selepas pemerintahan K'Umar muncul pula pemerintahan Sultan Iskandar, pemerintahan baginda berakhir pada tahun 1465 masehi kerana dibinasakan oleh Angkatan Perang Siam (Thai), kononnya baginda dan lebih 100,000 rakyat Kelantan telah dapat ditawan dan dibawa kenegeri Siam, tidaklah diketahui tentang nasib raja tersebut adakah baginda mangkat di Siam atau juga dihantar pulang ke Kelantan.

Kira-kira pada tahun masehi 1477 sebuah angkatan perang dari Melaka yang diperintah oleh Sultan Mahmud telah datang menyerang dan mengalahkan Kelantan, Sultan Mansur iaitu Sultan Kelantan telah dapat ditawan, begitu juga ditawan ketiga-tiga puteri baginda iaitu Puteri Unang Kening, Cubak dan Cuban. Puteri Unang Kening yang paling jelita itu kemudian diperisterikan oleh Sultan Mahmud Shah, maka setelah Sultan Mansur Shah mengaku tunduk kepada pemerintahan Melaka lalu baginda diangkat semula menjadi sultan Kelantan, sejak itu negeri Kelantan dikira sebagai jajahan takluk Melaka.

Sultan mansur Shah mangkat pada kira-kira tahun masehi 1526, putera baginda yang bernama Raja Gombak telah dilantik menjadi pemerintah Kelantan, baginda bersemayam di Pulau sabar juga, dalam tahun 1548 Raja Gombak telah mangkat dengan tidak meningggalkan zuriat, oleh itu anak saudara baginda yang bernama Raja Ahmad telah dilantik menjadi pemerintah Kelantan, baginda bergelar Sultan Ahmad, menurut beberapa punca sejarah Sultan Ahmad ini mempunyai seorang puteri yang sangat jelita yang bernama Puteri Cik Wan Kembang, dan sewaktu Sultan Ahmad mangkat puteri ini masih kecil lagi, lalu dil;antik aeorang anak raja dari Johor yang bernama Raja Husain memangku raja dengan bergelar Sultan Husain.

Sultan Husain yang memerintah kelantan itu dikatakan mangkat pada tahun 1610, dengan itu lalu dilantik Cik wan Kembang menjadi pemerintah Kelantan. Raja perempuan Kelantan ini dikatakan berpindah dari Pulau Sabar ke sebuah tempat yang sangat jauh di pendalaman iaitu Gunung Cinta Wangsa (terletak kira-kira 27 batu ke tenggara Kuala Kerai).

GANJIL

Mengapa baginda berpindah begitu jauh dari tebing sungai Kelantan adalah satu perkara yang sungguh ganjil, biasanya pemerintahan raja-raja di zaman dahulu adalah memilih tempat-tempat yang berhampiran dengan sungai, kerana sungailah yang menjadi jalan dan perhubungan yang penting ketika itu.

Harus jugalah pada fikiran raja perempuan itu bahawa tempat tersebut lebih selamat dan tenteram dari apa juga gangguan luar, terutama sekali gangguan dari pemerintahan Siam yang dianggap kuasa yang teragung ketika itu.

Dalam jangka yang sama di zaman pemerintahan Cik Wan Kembang, atau pada pedagang-pedagang bangsa Arab disebut Cik Siti (Cik Siti wan Kembang), maka di Negeri Kelantan telah wujud sebuah lagi pemerintahan beraja yang berpusat di Jembal (Kedai lalat sekarang iaitu kira-kira 6 batu dari bandar Kota Bharu). raja yang memerintah disitu bernama Raja Loyor putera Raja Sakti yang berasal dari Kedah.

Ada sesetengah ahli sejarah tempatan berpendapat yang Raja Loyor berkahwin dengan Namng Cayang yang dikatakan seoarang raja perempuan Pattani yang melarikan diri ke Kelantan, dari perkahwinan itu mereka beroleh seorang puteri yang diberi&127; nama Puteri Saadong, Puteri Saadong inilah yang kemudiannya diambil oleh Cik Siti Wan Kembang menjadi anak angkatnya, kerana baginda sendiri tidak mempunyai anak. Puteri Saadong pula berkahwin denban sepupunya yang bernama Raja Abdullah, kemudian Raja Abdullah telah dilantik menjadi raja di tempat yang bernama Cetak (dalam Jajahan Pasir Mas). Tidak lama di situ Raja Abdullah berpindah pula bersemayam di Kota Mahligai (dalam Daerah Melor sekarang).

Setelah Raja Abdullah dan Puteri Saadong berkerajaan di Kota Mahligai, maka Cik Siti Wan Kembang pun balik semula bersemayam di Gunung Ayam, setelah itu tidak lagi didapati cerita tentang Cik Siti Wan Kembang adakah baginda berpindah ke tempat lain atau mangkat di tempat tersebut.

Memanglah satu perkara yang sukar untuk mengesantentang kedudukan tempat semayam Cik Siti Wan Kembang yang sebenarnya, kerana di negeri Kelantan terdapatdua buah gunung yang bernama Gunung Ayam, sebuah terletak kira-kira 17 batu ke barat Gua Musang, gunung tersebut setinggi 2,945 kaki, terletak pula terlalu jauh dirimba yang sangat sukar dijalankan penyelidikan, sebuah lagi Gunung Ayam terletak dekat dengan sempadan negeri Terengganu iaitu kira-kira 15 batu ke timur laut Kuala Kerai, gunung tersebut setinggi 2,674 kaki, terletaknya pula jauh jauh ke dalam rimba. Gunung Ayam yang mana satu menjadi tempat dan pusat pemerintahan Cik Siti Wan Kembang.

Waktu saya melawat makam Tuan Tabal atau nama batang tubuhnya Tuan haji Abdul samad bin Muhammad, seorang tokoh pengembang agama Islam yang terkenal di negeri Kelantan, yang meninggal dunia pada tahun 1891 dan dan dimakamkan di perkuburan Banggul, jalan ke Pantai Cahaya Bulan (Pantai Cinta Berahi), saya juga telah diberitahu oleh Encik Nik Abdul Rahman bin Nik Dir yang memandu saya ke makam tersebut bahawa tidak berapa jauh dari makam Tuan Tabal itu terdapat sebuah makam lama yang sangat cantik dibina dari batu pejal serta berukir pula, makam tersebut orang-orang Banggul menyebut Makam Cik Siti, saya juga telah makam tersebut, kesimpulannya dari kajian saya tidak syak lagi makam tersebut adalah sebuah makam lama dari seorang perempuan yang dari keturunan raja-raja atau orang-orang besar juga, dan seni ukir pada binaan makamnya menggambarkan seni ukir yang hampir persamaannya dengan makam-makam di jembal dan juga makam-makam di permakaman DiRaja Langgar, adakah ini yang sebenarnya makam Cik Siti Wan Kembang adalah satu perkara yang sangat menarik dan perlu dibuat kajian yang lebih teliti.

NISAN

Berdasarkan tanah perkuburan Banggul saya yakin adalah satu tanah perkuburan yang sangat lama, mungkin tanah perkuburan tersebut telah digunakan beratus-ratus tahun lampau, di perkuburan Banggul itu juga akan memperlihatkan kepada kita berbagai-bagai jenis bentuk batu nisan yang ganjil-ganjil serta ada pula yang berukir dan bertulis ayat-ayat Quiran yang sangat cantik dan menarik.

Dengan berakhirnya pemerintahan Cik Siti Wan Kembang yang tidak dapat dikesan di akhir pemerintahannya, maka muncullah pemerintahan Raja Abdullah di Kota Mahligai.

Pemerintahan Raja Abdullah berakhir pada tahun 1671 iaitu apabila baginda mangkat dibunuh oleh isterinya Puteri Saadong, lalu Puteri Saadong melantik pula Raja Rahim anak Raja Abdullah merajai Kota Mahligai. Tidak lama setelah Raja Rahim memerintah baginda kemudian dibunuh pula oleh rakyatnya di tepi tasik Lelayang Mandi. Dengan kemangkatan Raja Rahim maka berakhirlah pemerintahan beraja di Kota Mahligai.

Konon menurut cerita Puteri Saadong telah lama ditawan dan di bawa ke Siam (Thailand) iaitu ketika tentera-tentera Siam datang melanggar Kelantan waktu mereka mula-mula berkahwin dan bersemayam di Kota Mahligai, selepas beberapa tahun Puteri Saadong di Siam, baginda di hantar balik ke Kelantan. Alangkah terkejutnya Puteri Saadong bila mendapati yang suaminya Raja Abdullah telah berkahwin lain, maka dari punca itulh berlakunya pertengkaran dan berakhir kemangkatan Raja Abdullah dengan tikaman pacak sanggul isterinya.

Sang Kancil Dengan Buaya

Pada zaman dahulu Sang Kancil adalah merupakan binatang yang paling cerdik di dalam hutan. Banyak binatang-binatang di dalam hutan datang kepadanya untuk meminta pertolongan apabila mereka menghadapi masalah. Walaupun ia menjadi tempat tumpuan binatang- binatang di dalam hutan, tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang sombong malah sedia membantu pada bila-bila masa saja.

Suatu hari Sang Kancil berjalan-jalan di dalam hutan untuk mencari makanan. Oleh kerana makanan di sekitar kawasan kediaman telah berkurangan Sang Kancil bercadang untuk mencari di luar kawasan kediamannya. Cuaca pada hari tersebut sangat panas, menyebabkan Sang Kancil berasa dahaga kerana terlalu lama berjalan, lalu ia berusaha mencari sungai yang berdekatan. Setelah meredah hutan akhirnya kancil berjumpa dengan sebatang sungai yang sangat jernih airnya. Tanpa membuang masa Sang Kancil terus minum dengan sepuas-puasnya. Kedinginan air sungai tersebut telah menghilangkan rasa dahaga Sang Kancil.

Kancil terus berjalan-jalan menyusuri tebing sungai, apabila terasa penat ia berehat sebentar di bawah pohon beringin yang sangat rendang di sekitar kawasan tersebut. Kancil berkata didalam hatinya "Aku mesti bersabar jika ingin mendapat makanan yang lazat-lazat". Setelah kepenatannya hilang, Sang Kancil menyusuri tebing sungai tersebut sambil memakan dedaun kegemarannya yang terdapat disekitarnya. Apabila tiba di satu kawasan yang agak lapang, Sang Kancil terpandang kebun buah-buahan yang sedang masak ranum di seberang sungai."Alangkah enaknya jika aku dapat menyeberangi sungai ini dan dapat menikmati buah-buahan tersebut" fikir Sang Kancil.

Sang Kancil terus berfikir mencari akal bagaimana untuk menyeberangi sungai yang sangat dalam lagi deras arusnya. Tiba-tiba Sang Kacil terpandang Sang Buaya yang sedang asyik berjemur di tebing sungai. Sudah menjadi kebiasaan buaya apabila hari panas ia suka berjemur untuk mendapat cahaya matahari.Tanpa berlengah-lengah lagi kancil terus menghampiri buaya yang sedang berjemur lalu berkata " Hai sabahatku Sang Buaya, apa khabar kamu pada hari ini?" buaya yang sedang asyik menikmati cahaya matahari terus membuka mata dan didapati sang kancil yang menegurnya tadi "Khabar baik sahabatku Sang Kancil" sambung buaya lagi "Apakah yang menyebabkan kamu datang ke mari?" jawab Sang Kancil "Aku membawa khabar gembira untuk kamu" mendengar kata-kata Sang Kacil, Sang Buaya tidak sabar lagi ingin mendengar khabar yang dibawa oleh Sang Kancil lalu berkata "Ceritakan kepada ku apakah yang engkau hendak sampaikan".

Kancil berkata "Aku diperintahkan oleh Raja Sulaiman supaya menghitung jumlah buaya yang terdapat di dalam sungai ini kerana Raja Sulaiman ingin memberi hadiah kepada kamu semua". Mendengar saja nama Raja Sulaiman sudah menggerunkan semua binatang kerana Nabi Sulaiman telah diberi kebesaran oleh Allah untuk memerintah semua makhluk di muka bumi ini. "Baiklah, kamu tunggu di sini, aku akan turun kedasar sungai untuk memanggil semua kawan aku" kata Sang Buaya. Sementara itu Sang Kancil sudah berangan-angan untuk menikmati buah-buahan. Tidak lama kemudian semua buaya yang berada di dasar sungai berkumpul di tebing sungai. Sang Kancil berkata "Hai buaya sekelian, aku telah diperintahkan oleh Nabi Saulaiman supaya menghitung jumlah kamu semua kerana Nabi Sulaiman akan memberi hadiah yang istimewa pada hari ini". Kata kancil lagi "Beraturlah kamu merentasi sungai bermula daripada tebing sebelah sini sehingga ke tebing sebelah sana".

Oleh kerana perintah tersebut adalah datangnya daripada Nabi Sulaiman semua buaya segera beratur tanpa membantah. Kata Buaya tadi "Sekarang hitunglah, kami sudah bersedia" Sang Kancil mengambil sepotong kayu yang berada di situ lalu melompat ke atas buaya yang pertama di tepi sungai dan ia mula menghitung dengan menyebut "Satu dua tiga lekuk, jantan betina aku ketuk" sambil mengetuk kepala buaya begitulah sehingga kancil berjaya menyeberangi sungai. Apabila sampai ditebing sana kancil terus melompat ke atas tebing sungai sambil bersorak kegembiraan dan berkata" Hai buaya-buaya sekalian, tahukah kamu bahawa aku telah menipu kamu semua dan tidak ada hadiah yang akan diberikan oleh Nabi Sulaiman".

Mendengar kata-kata Sang Kancil semua buaya berasa marah dan malu kerana mereka telah di tipu oleh kancil. Mereka bersumpah dan tidak akan melepaskan Sang Kancil apabila bertemu pada masa akan datang. Dendam buaya tersebut terus membara sehingga hari ini. Sementara itu Sang Kancil terus melompat kegembiraan dan terus meniggalkan buaya-buaya tersebut dan terus menghilangkan diri di dalam kebun buah-buahan untuk menikmati buah-buahan yang sedang masak ranum itu.